Foto : Gua Muiz
Disadur/ditulis oleh : Gus Muiz
Lembaga pendidikan jadi landasan penting dalam mencetak generasi penerus karena sejatinya pendidikan harus bersifat menyeluruh, tentunya juga harus mengikuti perkembangan zaman yang ada. Apalagi jika pendidikan ini berhubungan dengan moral dan agama yang dibangun.
Dalam perkembangannya Pesantren tidak saja mengajarkan mengenai ilmu agama tetapi juga penyajian ilmu pada umumnya. Sekarang dengan mudah kita mencari Pesantren yang menyajikan kurikulum lengkap mulai dari untuk tahfidz Al-Quran, ilmu pengetahuan dan teknologi hingga keterampilan yang mengarah pada soft skill hingga hard skill.
Keberadaan Pondok Pesantren (Ponpes) yang merupakan institusi pendidikan keagamaan dengan kekhasan di Indonesia harus terus dijaga dan dirawat. Eksistensi Pesantren yang sudah ada ratusan tahun silam dan begitu mengakar di tanah air patut diperhitungkan. Meskipun tak ada satupun Pesantren milik pemerintah, namun aktivitas, kurikulum dan muatan yang diajarkan dalam Pesantren di bawah naungan Kementerian Agama.
Semua harus terpantau oleh Kementerian Agama. Data yang disajikan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama terdapat 30.494 jumlah Pesantren yang berada di seluruh tanah air pada periode ajaran 2020/2021.
Bahkan berdasarkan kategori wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang berkontribusi dalam hal eksistensi Ponpes terbanyak yakni mencapai 9.310 atau sekitar 30,53 persen dari total Ponpes di Indonesia. Tetapi seiring perkembangan zaman dan pemberitaan yang disajikan di media, ternyata tidak semua Pesantren menjamin mutu kualitas pendidikan agama dan moral kepada para santri atau muridnya.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan ajaran di salah satu Ponpes yang terletak di Jawa Barat yang dianggap pemahaman, ajaran dan muatan konten yang disajikan tidak sesuai dengan pola belajar di Pesantren pada umumnya. Bahkan secara terang-terangan sang pimpinan Ponpes yang seharusnya menjadi teladan bagi seluruh jemaah maupun istrinya malah mempertontonkan narasi dan aksinya di media sosial dengan hal yang membuat kegaduhan.
Sebut saja hal ‘nyeleneh’ yang viral dari Ponpes yang ada di Kabupaten Indramayu ini yakni memperkenalkan salam Yahudi, kemudian ada juga mencampur shaf shalat antara perempuan dan laki-laki, ada pula yang perkataan yang kontroversial yakni perbuatan zina bisa ditebus jika membayar sesuatu kepada internal Pesantren itu.
Jelas ini sangat meresahkan dunia pendidikan apalagi kalau berbicara lembaga pendidikan islam. Anehnya lagi hal seperti ini larut dalam tontonan kepada publik dan terkesan lamban ditindak. Saya tidak bisa membayangkan karena peran pimpinan Ponpes itu seharusnya sebagai magnet dan reputasi serta citra Pesantren itu sendiri, tetapi kenapa malah ia mempertontonkan keanehan yang dianggap di luar nalar kajian agama pada umumnya. (*)