Opini  

MAFIA TANAH DAN PEMISKINAN, MAKIN DIKUAK MAKIN BANYAK TERUNGKAP

MAFIA TANAH DAN PEMISKINAN, MAKIN DIKUAK MAKIN BANYAK TERUNGKAP

Disadur : Suryadi
Pemerhati Kepolisian dan Budaya

Keberadaan Mafia Tanah di Tanah Air bagai bola salju.
Makin dikuak, makin banyak lagi yang terungkap dan kian
banyak pula warga yang jadi korban. Demikian pula yang terjadi
di Provinsi Banten, dan bukan mustahil juga di provinsi-provinsi lain.
Sadarkah proses pemiskinan warga pemilik lahan kini
tengah mengancam?

INDONESIA secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 416 kabupaten dan 98 kota dalam 34 wilayah provinsi. Membentang dari Sabang sampai Merauke dengan tak kurang dari 17.499 pulau, negeri ini memiliki total luas 7,81 juta km per segi, dan 2,01 juta km persegi di antaranya berupa daratan. Sebagian besarnya yaitu 3,25 juta km per segi merupakan lautan dan 2,55 juta km per segi masuk dalam Kawasan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) (oki, kkp.go.id/djprl/artikel/21045, 1 Juli 2020 – 19.50, 27 Maret 2021).

Betul bahwa kurang dari sepertiga Indonesia berupa daratan. Tetapi, gema permasalahan yang muncul dari daratan, khususnya terkait kepemilikan tanah, sering meluas kemana-mana. Persoalan adalah bidang-bidang tanah yang belum mempunyai kekuatan atau pengakuan hukum yang sah berupa Sertifikat Tanah yang diterbitkan oleh Negara.

Padahal, bidang tanah yang sudah bersertifikat saja masih sering dipersengketakan oleh pihak-pihak yang merasa sudah memiliki sertifikat atas bidang tanah (objek) yang sama (sertifikat ganda), apalagi yang sekadar punya girik atau Akta Jual Beli (AJB). Terjadi saling klaim. Beruntung kalau masing-masing sepakat menempuh jalur hukum ke pengadilan. Runyamnya, kalau memuncak sampai adu fisik antarpihak hingga menimbulkan persoalan baru pidana penganiayaan, misalnya. Berubahlah urusannya ke polisi, sebelum diteruskan oleh Kejaksaan ke Pengadilan. Buang-buang energi, melelahkan!

Menurut Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) pada Kementerian Agararia dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN), Suyus Windayana, dari total kurang lebih 126 juta bidang tanah di Indonesia, baru 82 juta bidang yang telah didaftarkan pada 2020. Artinya, tanah yang belum didaftar sekitar 35 persen (property.kompas.com/read/164926321 – 10/12/2020, 16:49 WIB – 20.49, 27/3/21). Jumlah 35 persen itu tersebar di seluruh penjuru Tanah Air, termasuk di Provinsi Banten. Di provinsi tetangga Ibu Kota Jakarta ini saja, menurut Kakanwil ATR/ BPN Banten, Andi Tenri Abeng (Jumat, 10/1/20) tercatat, baru 1,2 juta bidang tanah yang bersertifikat. Jumlah ini setara 30 persen dari seluruh 4.093.700 bidang tanah yang ada. (waisul, metro.tempo.co/read/1293746, 11 Januari 2020, 06:29 – 21.12, 27/3/21).

Bila tanah bersertifikat saja masih sering dipersengketakan oleh pihak-pihak yang saling klaim merasa lebih sah memilikinya, lantas bagaimana dengan bidang tanah yang masih sekadar punya girik atau AJB? Bidang tanah yang seperti inilah yang sering kedapatan menjadi obyek “bisnis kotor” para mafia tanah (MT) di Tanah Air.

MAFIA TANAH
BANYAK atau sedikitnya kasus MT yang terungkap di masing-masing provinsi, pasti tidak sama. Tetapi, mungkin saja itu cuma soal waktu, sampai suatu ketika silih-berganti mencuat persoalan demi persoalan.

Pada satu sisi, ragam persoalan yang melatarbelakangi mereka yang terlibat dalam jaringan MT, sebuah realitas. Pada lain sisi, warga pemilik lahan baru tersadar telah tertipu oleh MT karena keawaman pengetahuan atau karena tak segera mengonversi dokumen yang dimiliki menjadi Sertifikat Tanah.

Sementara proses pemiskinan sangat mungkin mulai menggerogoti warga yang semula merupakan pemilik tanah menjadi tak punya apa-apa. Penyebabnya adalah paduan ‘kaget’ pegang uang jumlah besar hasil jual lahan karena tergiur iming-iming ‘ganti untung’ yang dimainkan tangan-tangan kotor dan culas –kemudian disebut MT. Kemudian, baru terjadi eksplosif pemberitaan media bahwa “Warga Pemilik Lahan Jadi Korban Mafia Tanah.” Lebih parah lagi kalau sosialisasi dan publikasi yang muncul nirpencerdasan masyarakat alias senada dengan iming-iming menggiurkan dari para MT.
.

Pada kasus MT Bojongpadan, seperti diuraikan Direktur Reserse Umum Polda Banten, Kombes Pol. Martri Sonny, S.I.K., S.H., M.H., Selasa (23/3/2021), pihaknya pada Februari 2021 menerima pengaduan dari seorang warga (sementara belum disebut namanya) yang menjadi korban MT. Modusnya, pemalsuan atau penipuan terkait girik palsu. Sementara ini, dari jaringan MT Bojongpandan, baru terungkap empat pelaku yaitu MRH (55), AD (38), CJ (46), dan S (55). 

Para tersangka berlatar belakang profesi dan tinggal berbeda-beda. Tersangka MRH, warga Kota Baru, Kota Serang, adalah sosok yang patut diduga paham dengan baik tentang prosedur dalam urusan pajak bumi dan bangunan (PBB), mengingat ia mantan pengawai honorer di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota serang. Dua lainnya, CJ dan AD, sekuriti di KPP yang sama, masing-masing warga Pontang, Kabupaten Serang, dan warga Sumurpecung, Kota Serang. Tersangka S adalah mantan pegawai honorer kantor salah satu kecamatan di Kabupaten Lebak.

Kerja sama mereka dapat dibaca sebagai sudah terbina dalam suatu jaringan, yang dapat disimak pada kronologi berikut ini:
• Seorang warga berceritera kepada U tentang masalah tanah orangtuanya di Bojongpandan, Kabupaten Serang, yang ada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT – PBB), tapi tak punya girik.
• U menyampaikan cerita korban kepada S, dan ia kemudian melanjutkannya kepada CJ dan AD.
• CJ dan AD menghubungi MRH sebagai penyedia girik (palsu).
• S kembali bertemu korban dan menyatakan sanggup mengambilkan girik di Kantor Desa, dengan biaya Rp 12 juta.
• Tak lama kemudian korban menerima girik dari S.
• Korban mengadu ke Polda Banten, karena merasa telah ditipu mengingat girik yang ia terima dari S ternyata palsu. Hal ini ia ketahui ketika mengecek ke Kantor Desa, ternyata tidak terdaftar (tidak tercatat) di buku “Leter C” Desa.
• Polda Banten melalui Ditserseum cq. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Tanah (Satgas PMT) dalam kendali Kasubdit Harta Benda (Harda), AKBP Dedi D segera menurunkan tim Satgas PMT.
• Dua hari kemudian, Satgas PMT berhasil mengungkap pemalsuan girik atau penipuan yang dilakukan MRH dan kawan-kawan.
• Terungkap, girik palsu berasal dari MRH.
• Menurut Kabid Humas Polda Banten, Kombes Pol. Edy Sumardi Priadinata, S.I.K., M.H., polisi menerapkan Pasal 263 ayat 1 KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara terhadap tersangka MRH. Tiga tersangka lainnya, CJ, AH dan S, yang digolongkan “turut serta membantu tindak pidana” dikenakan pasal 378 KUHPidana dengan ancaman maksimal hukuman empat tahun penjara.
• Keempat tersangka berikut barang bukti kini diamankan oleh Ditserseum Polda Banten. (Sejauh ini tidak ada penjelasan tentang U yang bila dilihat dari kronologi kejadian, adalah sosok yang menceritakan masalah tanah orangtua korban di Bojongopandan kepada tersangka S).

Ada lagi ‘kejutan’. Tim Satgas PMT Polda Banten dalam penelurusan lebih jauh di kediaman tersangka RMH menemukan banyak dokumen palsu terkait tanah, di antaranya 57 girik palsu. Selain itu, juga blanko girik, jenis dokumen tanah, dokumen girik tahun 1970 hingga 1980an. Mafia tanah Bojongpandan ini cermat dalam aksi jahatnya. Terungkap mereka cermat mengumpulkan contoh tanda tangan pejabat-pejabat tanah di masa lalu. Jadi, seolah-olah pejabat tahun dulu itu benar-benar telah bertanda tangan di atas dokumen sehingga terkesan dokumen yang benar. Ditemukan pula, 24 girik hasil penggandaan dalam ukuran lebar untuk Tangerang bertahun 1980 hingga 1983. Selain ditemukan pula, stempel palsu Desa berbagai tahun dari berbagai daerah, serta mesin ketik hingga peta tanah.

Kejutan masih berlanjut. Seperti diungkap Kapolda Banten, Irjen Pol. Rudy, saat ini anggotanya di Ditreserseum tengah menyelidiki tak kurang dari 324 Akta Jual Beli (AJB) yang diduga palsu. Jika ahli forensik telah menyatakan ratusan AJB itu palsu, Rudy mengatakan, akan ada tersangka-tersangka lainnya untuk diproses lebih lanjut sesuai hukum yang berlaku. Penegasan ini ia sampaikan kepada Dr. Sofyan Djalil. S.H., M.H. ketika Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional itu sengaja datang ke Mapolda Banten, Jumat (26/3/21), untuk menyampaikan apresiasi kepada Satgas PMT Polda Banten yang telah berhasil membongkar MT Bojongpandan.

Dalam kasus MT Bojongpandan, terbaca jelas bahwa warga yang menjadi korban tidak paham atau mungkin terjebak menyederhanakan pengertian girik menjadi bukti sah kepemilikan suatu bidang tanah. Girik, biasanya oleh masyarakat, digunakan untuk merujuk pada tanah yang belum bersertifikat. Padahal, girik hanyalah bukti pembayaran pajak belaka. Undang-Undang No. 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU – PA) mengatur untuk melakukan konversi tanah, salah satunya tanah girik, ke dalam tanah ber-hak sesuai UUPA. Pelaksanaan konversi tanah tersebut harus selesai dalam 20 tahun. Tetapi, nyatanya masih banyak tanah masyarakat yang belum dikonversi. Terkadang Pemerintah juga mengadakan program ‘pemutihan’ yang dapat diikuti oleh pemilik tanah girik (https;//smartlegal/ 2018/12/04 smartlegal.id – 04 Dec 2018 I SLN – 7.39, 23/3/21 –)

Kerawanan serupa juga dapat ditemukan di daerah lain, seperti di Kawasan Citayam dan sekitarnya yang masuk dalam wilayah Kota Depok, Jawa Barat, dan yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Di sini, juga banyak bermula persoalan dari bidang tanah yang hanya beralas girik. Ini banyak terjadi pada pembangunan kompleks perumahan, terutama yang dikembangkan oleh pengembangan perorangan. Pada kasus di sini, lebih parah lagi, banyak rumah yang terbengkalai karena oleh si pengembang perorangan tersebut telah dijual berkali-kali. Padahal, jangankan sertifikat tanah, AJB saja belum jadi.

LIMA HAL
PERSOALAN pada kasus MT Bojongpandan, setidaknya menurut hemat penulis, mengandung lima potensi yang ‘mendorong’ terjadinya kasus mafia tanah. Kelimanya patut menjadi pelajaran, baik bagi masyarakat maupun semua pihak yang berelasi dengan langkah-langkah pengamanan, sosialisasi, dan proses konversi suatu bidang tanah menjadi memiliki pengakuan yang sah secara hukum, yakni:

  1. Naiknya nilai tanah. Hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh antara lain letak geografis dan orbitasi dari pusat-pusat layanan umum atau pusat pemerintahan yang luasnya sudah sangat terbatas dibandingkan dengan populasi penduduk tetap atau dan bergerak (mobile). Posisi yang demikian ini, membuatnya butuh daerah penyangga, seperti Ibu Kota Jakarta terhadap kabupaten/ kota di Provinsi Banten, serta Bogor, dan Bekasi di Jawa Barat. Mungkin dibutuhkan untuk membuka kawasan permukiman (sederhana sampai yang mewah) atau untuk pengembangan usaha lainnya. Tetapi, ada pula yang disebabkan oleh adanya pemecahan wilayah, misalnya, dari satu kabupaten/ kota dipecah menjadi kabupaten/ kota baru. Di Banten, contohnya, yang patut diwaspadai yaitu pengembangan (wilayah) Kabupaten Tangerang menjadi dua yaitu Tangerang dan Tangerang Utara.
  2. Banyak warga pemilik tanah tergiur harga yang menggoda, sementara edukasi cenderung “iklanisme” kalau tak “elitis” sehingga tidak efektif bagi upaya-upaya pencerdasan warga. Akibatnya, warga mudah menjual lahan disusul oleh muculnya perilaku mereka sendiri yang konsumtif. Sementara, diam-diam para MT dengan jaringannya siap memainkan skenario penipuan. Muara akhirnya, yang terjadi adalah pemiskinan warga sendiri, karena andaipun telah menerima akumulasi “uang ganti untung” dalam jumlah cukup besar, teryata mereka tidak siap mengelola keuangannya secara baik.
  3. Bidang tanah yang sudah mempunyai hukum masih terbatas, sementara pendataan tanah oleh Pemerintah, sempat telat terkelola dengan baik.
  4. Adanya pengukuhan status hukum suatu bidang tanah yang hanya melihat pada alas formal. Misal, untuk membuat akta jual beli (AJB), pihak pejabat pembuat akta tanah (PPAT), cukup melihat lembar keterangan formal saja sehingga menjauh dari substansi. Padahal, ini sangat rawan termasuk jika proses dilanjutkan ke pensertifikatan.
  5. Sudah puluhan tahun terdapat orang-orang yang secara jeli namun culas membaca keempat hal tadi (poin 1 s.d. 4) sebagai peluang dikembangkan sebagai “ladang bisnis jahat” MT. Mereka sangat mungkin awalnya bukan orang-orang yang berpengetahuan bagus, tapi karena tertempa oleh kebiasaan menipu, mereka nikmat dan menikmatinya. Tapi, bukan mustahil ada pula yang merupakan tangan-tangan dari spekulan tanah atau spekulan tanah itu sendiri. Di balik mereka, sebenarnya eksis orang-orang berduit besar yang memerlukan lahan untuk mengembangkan bisnisnya.

SATGAS DAN KEARIFAN
JUMLAH bidang tanah di seluruh Indonesia yang belum terdaftar untuk disertifikatkan masih 35% lagi. Ini jelas jumlah yang besar dan akan menjadi “peluang bisnis” bagi para MT sepertihalnya di Bojongpandan. Apalagi, bila lima potensi yang ‘mendorong’ munculnya MT seperti dikemukakan di atas, tidak segera teratasi.

Modus yang dijalankan MT Bojongpandang serta barang-barang bukti lain yang ditemukan di kediaman MHR, mengindikasikan bahwa kerja-kerja jahat MHR bukan cuma terbatas di Bojongpandan, Kabupaten Lebak. Sangat mungkin MHR cuma satu dari dari mata rantai jaringan serupa di Tanah Air. Artinya, jaringan sejenis  MHR  dan kawan-kawan masih berkeliaran. Mereka siap memangsa warga pemilik tanah, khususnya di masa sulit akibat serbuan pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhirnya.

Secara umum, tentang MT mungkin dapat dilihat dari teori kriminologi tentang perilaku ‘behaviour modification’ seperti ditulis oleh Soekanto dan Santoso: “Teknik mengubah tingkah laku manusia tergantung pada akibatnya. Kalau suatu tingkah laku mendapatkan imbalan, maka ada kecenderungan kuat untuk diulangi lagi atau sebaliknya” (1988: 11). Pemberi imbalan itu, bedah Suryadi dan Helsi, “Pastilah bagian dari lingkungan sosial pemiliki perilaku tertentu tadi, atau setidaknya berelasi sosial dengannya (“Generasi Transisi di Era Perubahan”, 2020: 203).

Praktik-praktik MT, tampaknya, dekat-dekat dengan teori “behaviour modification”. Dapat dipastikan, MT sudah dalam lingkungan sosial yang sudah terbina sejak lama dalam kerja jaringan, seperti terungkap dalam kasus MT di Bojongpandan, Kabupaten Serang, Banten. Dalam bahasa sehari-hari, sering disebut sebagai ‘tuman’ karena memang ‘terasa enak dan berulang-ulang’ atau ‘ambil jeda beberapa saat sambil melihat peluang untuk nanti dapat dilanjutkan lagi’.

Jadi, mafia tanah di Tanah Air bukan sekadar MT Bojongpandan, melainkan juga berkeliaran di mana-mana. Layaknya bola salju yang menggelinding, makin diungkap, makin terkuak pula seberapa luasnya jangkauan penipuan yang sudah (dan akan) mereka lakukan. Mungkin beda modus, tapi bukan mustahil malah serupa. Maka, wajar saja ketika perintah Presiden segera ditindaklanjuti oleh Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo kepada seluruh jajarannya di Tanah Air. Ia memeritahkan untuk tidak ragu-ragu menindak mafia tanah.

Menyahuti perintah Kapolri, langkah-langkah cepat, pasti telah diambil oleh 34 Kapolda di Tanah Air, termasuk Kapolda Irjen Pol. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H., M.B.A. dalam dua bulan terakhir sejak ia dilantik menjadi Kapolda Banten, 5 Januari 2021. Posko pengaduan yang dibentuk Rudy terkoneksi dengan baik dengan Kanwil ATR/ BPM dan Kantor ATR/ BPM Kabupaten/ Kota seprovinsi Banten. Selain itu, ia juga membentuk Satgas PMT. Hasilnya? antara lain terbongkarnya kasus MT Bojongpandan dan ratusan AJB palsu.  

Dukungan konkret dan aktif Kepada Polri patut pula disahuti oleh instansi-instansi terkait. Misalnya, oleh Pemerintah pusat meliputi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kemendagri, dan Kejaksaan Agung yang memiliki kantor dan aparat sampai di level kabupaten/ kota. Demikian pula di daerah yaitu mulai dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota, Kecamatan, sampai kepada Kelurahan/ Desa.

Mengingat dapat leluasanya mafia tanah beroperasi akan sangat terkait dengan tingkat pemahaman masyarakat akan hukum dan manajemen hidup, maka tak ada kelirunya jika juga melibatkan perguruan tinggi. Lebih khusus lagi yaitu, fakultas hukum, fakultas ekonomi, serta fakultas-fakultas lainnya untuk keperluan edukasi tentang adanya ancaman pemiskinan akibat konsumerisme, selain ketidakpahaman bahwa kepastian hukum atas kepemilikan tanah adalah masa depan.

Dengan demikian, akan terbangun suatu pelembagaan penangangan yang memberi solusi efektif terhadap pentingnya warga menjadi terdidik, jeli dan peka terhadap semua kemungkinan buruk akibat ketidakpahamannya sendiri serta ancaman tertipu dan pemiskian. Mereka menjadi tidak mudah tergiur oleh iming-iming dari MT.

Ingat, nilai tanah menaik beriringan dengan terus melajunya populasi penduduk. Ketersediaan tanah statis, sedangkan pertumbuhan penduduk terus melaju bahkan tak terkendali. Tanah menjadi tak lagi sekadar untuk bercocok tanam secara turun-temurun seperti dipraktikkan oleh masyarakat agraris (petani) di masa lalu. Industrialisasi yang di satu sisi, suka-tidak suka, ternyata tak cukup hanya diterima dengan kreatif dan cerdas. Ia telah menggerus kearifan memahami arti bumi sebagai sebuah ekosistem. Bumi tak hanya merupakan sumber ekonomi bagi para pemilik sertifikat, yang pada titik konsumerisme, mereka gelap mata main jual. Sementara kelayakan sebagai sebuah lingkungan hidup banyak terabaikan oleh pentingnya kebijaksanaan yang luhur.

Bumi sebagai lingkungan hidup adalah ekosistem yang memerlukan pemuliaan demi kepentingan hidup itu sendiri. Bumi tidak sekadar untuk dieksploitasi oleh nilai-nilai ekonomi yang dibawa oleh perilaku kapitalistik pada pemodal besar. Perilaku serupa ini, bahkan mungkin tanpa sadar sudah merasuki masyarakat pemilik tanah, sehinga lebih gampang terjebak dalam konsumerisme ketimbang mahkluk yang tahu tentang masa depan antara lain berciri “saving” yang kental. “Saving” itu bukan sekadar menabung uang, tapi juga menyelaraskan bumi (tanah) hingga benar-benar menjadi sebuah ekosistem.

Pemuliaan atas tanah sebagai suatu ekosistem bukanlah dengan suatu tindakan besar-besaran oleh para pemodal besar yang cenderung eksploitatif. Pemuliaan atas lingkungan selain dibangun oleh kepedulian terhadap pentingnya pertumbuhan ekonomi, pada saat yang sama juga sangat mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan sebagai lingkungan hidup sehingga masyarakat pemilih tanah semula tidak tergerus pemiskinan.

Dengan begitu, tanah akan memberikan nilai-nilainya bagi kelangsungan hidup si pemilik yang merupakan bagian dari suatu masyarakat dalam lingkungan hidup yang beretika sekaligus berkekuatan sosial dan ekonomi. Pilihlah yang terpelihara. Sebab, itu jauh lebih arif dalam menyikapi kedatangan masa depan ketimbang menjadi instanisme untuk sekadar hidup nan hedon.(**)

156 Pembaca
error: Content is protected !!
Exit mobile version