Tapak Ir. H. Joko Widodo dan Tuan Syech Ibrahim Sitompul
Oleh: H. Albiner Sitompul, S.IP, M.AP
Jakarta, Secara lahiriah, sosok Ir. H. Joko Widodo dengan Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat, yang sama-sama mempunyai karismatik, namun berbeda status sosialnya dan sama-sama zuhud terhadap kebendaan dunia, fokus memikirkan kepentingan nasional.
Perbedaannya, mereka dalam dua masa yang berbeda. Ir. H. Joko Widodo pada masa Indonesia Merdeka, Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda.
Kedua sosok ini, sama-sama melakukan kebijakan yang mempengaruhi dunia internasional, pada masa yang berbeda pula. Penulis pernah merasakan kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada saat menjabat Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Kepresidenan (Karo Pers) dan mengamati kebijakannya sampai saat ini, mengutamakan kepentingan persatuan bangsa Indonesia.
Kepemimpinan Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul dirasakan oleh penulis dari cerita Ibundanya. Dia meninggalkan kemewahan dunia yang diperolehnya dari Pemerintahan Hindia Belanda, kemudian menjadi Tuan Syèkh dan melawan kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda untuk kepentingan persatuan Bangsa Indonesia.
Sekembalinya Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul tahun 1903, setelah mendalami ilmu tarekat Naqsabandiyyah di Makkah. Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul memadukan ilmu tarekat Naqsabandiyyah dengan ilmu ajaran masyarakat Batak “Dalihan Na Tolu”, untuk membangun persatuan masyarakat di Kresidenan Tapanuli.
Hal yang sama “Dalihan Na Tolu” disampaikan Joko Widodo dalam pengarahannya sebagai Presiden RI pada acara Silaturahmi Nasional di Kabupaten Mandailing Natal, “Karena itu saya berharap Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) bisa meninjau dan memperkuat penerapan ajaran masyarakat batak “Dalihan Na tolu” sebagai salah satu perekat keragaman dan keharmonisan suku Batak. Saya yakin banyak nilai-nilai luhur budaya Batak sejalan dengan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Kemudian Presiden Ir. H. Joko Widodo menyampaikan. Organisasi Islam seperti JBMI juga bisa menjadi sumber optimisme masyarakat, sumber penguatan persatuan, sumber penguatan kesatuan bangsa Indonesia. Dengan bersatu maka kita akan dapat terus bekerja menjalankan pemberatan ekonomi yang akan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Filosofi “Dalihan Na Tolu” seperti tiga tiang sosial manusia yang diikat dengan sebuah perjanjian adat yang sangat berharga dalam kehidupan pomparan Raja Batak, anak, Boru dohot Berena. Filosofi ini juga bisa diuraikan dengan tiga tungku tempat diletakkannya kuali memasak makanan yang akan diserahkan kepada anak, Boru dohot Berena. “Dalihan” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah “tungku”, “Na” adalah “yang”, dan “Tolu” adalah “tiga”. Dalihan Na Tolu adalah kebahagiaan diperoleh dari tiga tungku yang menyatukan. Demikian Raja Batak berpesan sebelum meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya untuk mengatur keseimbangan kehidupan ini guna menjaga persatuan, seperti filosofi “ Dalihan Na Tolu”.
Tapak Ir. H. Joko Widodo
Sosok Ir. H. Joko Widodo sudah tak asing bagi rakyat Indonesia dan para pejabat tinggi dunia internasional. Literatur tentang figur Presiden ke-7 Republik Indonesia sudah banyak di media. Salah satunya di Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Maka, penulis hanya menganalisa bagaimana pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 21 Juni 1961, ini mengalami berbagai cobaan dalam memimpin negeri ini.
Sementara hasil penelusuran di lapangan, dilakukan penulis dalam menyelami tapak dan kehidupan Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul di tanah kelahiran serta beberapa tempat yang pernah disinggahinya di daratan Pulau Sumatera, ketika itu. Insya Allah, dalam waktu dekat akan diterbitkan buku tentang Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul.
Kebijakan yang diambil seorang pemimpin kadang tak bisa memuaskan semua pihak. Pasti ada pro dan kontra. Penulis memang mulai intens berhubungan dengan Joko Widodo ketika masih menjabat Karo Pers di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sekarang sebagai Tenaga Pengkaji Madya Bidang Diplomasi Lemhannas RI.
Sebelumnya, penulis pernah menduduki jabatan Kepala Penerangan di Kostrad (Komando Strategis Cadangan TNI AD). Jadi, terbiasa berhubungan dengan para jurnalis, dan tentunya mengikuti perkembangan berita-berita aktual di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Secara pribadi, penulis melihat dan mengamati bahwa Joko Widodo atau Jokowi sosok yang ramah, sederhana, namun cerdas dan berani mengambil kebijakan tegas untuk kepentingan bangsa dan negara. Penulis meyakini kebijakan yang diambil atau diputuskan Bapak Jokowi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski bisa saja menimbulkan pro dan kontra.
Lontaran ketidakpuasan, kritikan, bahkan ujaran kebencian dan fitnah terpanah ke Jokowi di media sosial. Walau sekali-kali dibantahnya, khususnya untuk fitnahan yang tidak mendasar. Jokowi menjawab semua itu dengan tetap fokus bekerja membangun negeri ini semaksimal mungkin, dengan berbagai kendala yang dihadapinya.
Melihat sosok Jokowi, penulis merasakan kepribadiannya hampir serupa dengan Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul yang merupakan seorang Sufi. Jokowi yang sebelumnya seorang pengusaha sukses di bidang meubel, meninggalkan bisnisnya itu setelah menjadi Wali Kota Solo, kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan mendapat amanah dari rakyat Indonesia melalui Pilpres menjadi Presiden RI periode 2014-2019. Jika bukan kehendak rakyat dan Ridho Tuhan YME, Jokowi tidak akan kembali terpilih menjadi Presiden RI untuk periode kedua (2019-2024).
Penulis haqqul yaqin, kalaupun bukan Jokowi, siapapun yang terpilih sebagai Presiden RI tak lepas dari hantaman badai kritikan, bahkan ujaran-ujaran kebencian dan fitnah. Yang membedakannya, bagaimana pemimpin itu menjawab semua itu, baik dari pihak yang pro maupun kontra.
Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul yang seorang Sufi juga menghadapi hal yang sama seperti dialami Presiden Jokowi. Ia pernah difitnah bahkan di penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika dicalonkan sebagai Kepala Nagori Jangjiangkola (Janjiangkola adalah Nagori dari kerukunan 8 (delapan) huta (desa) yang dirancang oleh delapan Raja huta, Raja Oppu Eret Sitompul (Ayah Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul) dari Raja Lobu Handis, Raja Alias Sihombing dari Raja Lobu Balimbing, Raja Hepeng Sihombing dari Raja Janjinauli Angkola, Raja Salomo Sihombing dari Raja Lobu Longat, Raja Pandua dari Raja Sait Nihuta, Raja Simson Sitompul dari Raja Lumban Dolok, Raja Esson Hutapea dari Raja Lobu Sipurik-purik, Raja Paet Sarumpaet dari Hutanagodang bergabung dalam satu perjanjian Nagori). Atas amanah masyarakat dan kehendak Allah SWT, Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul tetap terpilih sebagai Kepala Nagori Janjiangkola.
Sebagai tokoh masyarakat dan mempunyai jabatan prestisus, tak membuat Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul jumawa. Ia tetap berpenampilan sederhana, bertanggung jawab kepada keluarga dan masyarakat yang dipimpinnya. Hal yang sama terlihat pada diri Presiden Jokowi.
Sebagai putra Batak, Syèkh Ibrahim memegang dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur Dalihan Na Tolu. Presiden Jokowi sendiri merasa kagum dengan budaya dan adat istiadat Batak yang beragam, tapi tetap harmonis.
“Dalihan Na Tolu sebagai salah satu perekat keberagaman dan keharmonisan suku Batak. Saya yakin nilai-nilai luhur budaya Batak sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Saya yakin budaya di sini tidak menyukai ujaran kebencian, caci maki yang sering kita lihat di media sosial. Umpatan, fitnah, saling menjelekkan, saling mencela, itu bukan budaya kita. Saya kadang-kadang berfikir, apakah ini didorong infiltrasi asing yang ingin memecah belah kita lewat media sosial. Itu bukan budaya dan karakter bangsa kita yang penuh dengan kesantunan dan kesopanan,” kata Presiden Jokowi saat memberi kata sambutan di acara Silatnas JBMI di Tapanuli Selatan, pada Maret 2017.
Sebelumnya, di hari yang sama, Presiden Jokowi meresmikan Tugu Titik 0 Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, yang digagas oleh Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI).
Pada Saat Penelitian di Kabupaten Aceh Utara, Desa Gedung Pasai, Penulis sebagai Ketua Umum JBMI bersama Anggota DPRD Aceh Utara Bapak Terpiadi A. Majid, akan memperkuat Aceh Nanggroe Darussalam sebagai Serambi Mekkah dan memprakarsai pemugaran kompleks makam Cucu Nabi Muhammad SAW, seorang yang alim, sempurna, mulia dan zuhud, bertakwa serta suci hatinya. Pertama bernama Sayyid ‘Imaduddin ‘Ali Al Husainiy Al Hasaniy (wafat 19 Muharram 827 Hijrah). Kedua, seorang ulama bernama Sayyid Syarif Mir Hasan bin Mir ‘Ali Syir Al Abadiy, wafat pada 12 Rabiul Awal 833 Hijrah. “Ketiga, seorang wanita mulia yang diyakini juga seorang ahlulbait, berlandaskan gelar Syarifah di pangkal namanya. Sehingga Aceh dimantapkan sebagai Serambi Mekkah, karena yang menyebarkan Agama Islam di Aceh adalah keturunan Suku Quraisy yang mulia.
Zaman kolonial Belanda menjajah Indonesia, sekitar tahun 1890-an, di Nagori Janjiangkola, Tapanuli Utara, ada salah satu pemuka agama Islam, yaitu Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul. Beliau adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang melakukan perlawanan dan aksi politik terhadap penjajah Belanda di tanah Batak.
Ya, di Tapanuli Utara itulah kedua tokoh pemimpin yang Sufi itu bertemu secara bathiniah. Berjuang dan memimpin dengan tujuan yang sama, yaitu menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam situasi dan era yang berbeda. (*)
Jakarta, 21 Juli 2020
H. Albiner Sitompul, S.IP, M.AP adalah Ketua Umum DPP Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI).