Hukrim  

Stop Kriminalisasi Jurnalis!Permohonan Pledoi PH: Bebaskan Marsal & Apeng dari Segala Tuntutan

SEI REMPAH – Meski telah memiliki payung hukum yang jelas dan tegas, perjalanan media (pers) dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial (social control) tampaknya masih harus berjalan terseok-seok dan tertatih-tatih. Secara khusus bagi para insan jurnalis (wartawan), masih saja harus sering menghadapi tantangan dari berbagai pihak yang merasa tidak senang (terganggu) ketika fungsi kontrol sosial tersebut  mereka jalankan.

Padahal Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah dengan jelas dan tegas mengatur soal asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan Pers. Demikian juga kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, namun masih saja ada pihak yang selalu berusaha untuk menghalang-halangi para insan pers (wartawan) untuk menunaikan tugas jurnalistiknya. (07/10/20).

Inilah yang sedang dialami oleh Mara Salem Harahap (Marsal) dan Suwardi (Apeng), yang terpaksa harus menjalani proses pengadilan sebagai terdakwa karena terjerat hukum atas pengaduan pihak yang merasa tidak senang (terganggu) oleh pemberitaan yang dibuat oleh kedua wartawan tersebut di salah satu media online. Dalam kasus ini, pihak pelapor adalah 3 unit kebun dari PTPN 3, yaitu: Kebun Gunung Pamela, Kebun Silau Dunia, dan Kebun Gunung Para.

Secara kronologis, menurut penuturan Tim Penasehat Hukum (PH) kedua terdakwa (Marsal dan Apeng) – wartawan; –  bahwa kasus ini bermula dari beberapa berita yang diterbitkan oleh kedua jurnalis tersebut di salah satu media online. Inti pemberitaannya terkait dengan hal-hal yang tidak baik (buruk) yang ditemukan di ketiga kebun tersebut. Lalu, karena pemberitaan tersebut, Seno Adji (Manajer Kebun Gunung Pamela), Ir. Charles Nic. Sitorus (Manajer Kebun Silau Dunia), dan Raden Wahyu Cahyadi (Manajer Kebun Gunung Para), merasa tidak senang dan terganggu, karena merasa bahwa isi berita tersebut tidak benar karena tidak sesuai dengan fakta.

Dalam UU No. 40 Tahun 1999 telah diatur, bahwa bila suatu berita yang disiarkan dianggap tidak benar (salah), tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, maka pihak yang merasa dirugikan/terganggu oleh pemberitaan tersebut dapat menyampaikan hak jawab kepada pihak media (pers) yang menyiarkan berita tersebut, yang tentunya secara tertulis. Namun ketiga manajer tersebut (sebagai pihak yang merasa dirugikan atas beberapa pemberitaan yang dibuat oleh Marsal dan Apeng) tidak pernah membuat hak jawabnya (secara tertulis) kepada media dimana berita tersebut diterbitkan. Walau dalam kesaksian, mereka mengaku telah memberi hak jawab secara lisan, tapi akan lebih baik bila hak jawab tersebut disampaikan secara tertulis.

Fakta lain di persidangan yang muncul bahwa sebenarnya bukan hanya Marsal dan Apeng yang pernah memberitakan tentang kondisi tidak baik (buruk) di ketiga kebun tersebut. Beberapa media lain juga ada memberitakan kondisi tersebut dan bukan hanya sekali pemberitaan. Apakah kondisi seperti ini juga ada dialami oleh para jurnalis (selain Marsal dan Apeng) dari para manajer kebut tersebut?
Atas beberapa pemberitaan Marsal dan Apeng yang dikatakan telah membuat resah, maka ketiga Manajer Kebun tersebut berkumpul untuk membicarakan permasalahan ini, dan disepakatilah jika permasalahan ini diserahkan kepada saksi Ibnu Syahputra Sutomo (Asisten Personalia Kebun/APK) Kebun Gunung Pamela (selanjutnya disebut Ibnu) untuk mengurus dan menyelesaikannya. Solusi yang disepakati adalah bahwa masing-masing Manajer Kebun akan memberi uang Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), berarti total menjadi Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) kepada Marsal dan Apeng sebagai uang koordinasi antara pihak Kebun Gunung Pamela, Gunung Para, dan Silau Dunia dengan PT. Lasser Media Indonesia yang menaungi LasserNewsToday.com, media yang menerbitkan beberapa berita yang notabene membuat mereka tidak nyaman. Artinya, dengan menjalin kerjasama koordinasi antara kedua belah pihak maka pemberitaan tentang hal-hal yang tidak baik tentang kondisi di ketiga kebun tersebut tidak ada lagi.

Setelah kesepakatan tersebut ada, maka Ibnu (sebagai perwakilan ketiga manajer tersebut) meminta kedua terdakwa datang ke Kantor Perkebunan PTPN 3 Gunung Pamela, Desa Buluh Duri, Kecamatan Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagai (kantor Ibnu). Seyogianya, Marsal dan Apeng diharapkan datang pada tanggal 24 April 2020, namun karena ada halangan bagi pihak Marsal dan Apeng, maka pertemuan selanjutnya direncanakan pada tanggal 27 April 2020.

Sesuai rencana, pada 27 April 2020 pertemuan pun terjadi. Marsal dan Apeng datang ke Kantor PTPN 3 Kebun Gunung Pamela (Kantor Ibnu) untuk memenuhi permintaan ketiga Manajer tersebut diwakili saksi Ibnu. Di dalam ruangan (kantor), komunikasi berlangsung baik, akrab, tidak ada perdebatan apalagi pertengkaran antara kedua belah pihak. Dan di dalam ruangan itu, uang senilai Rp 30 juta pun diserahkan oleh Ibnu (mewakili ketiga manajer kebun tersebut) dan dilengkapi dengan kwitansi yang diminta ditanda-tangani oleh Marsal dan Apeng. Setelah itu, kedua kedua terdakwa pun meninggalkan ruangan dan berniat untuk pulang.

Namun untung tak dapat diraih, naas tak dapat ditolak, begitu kedua wartawan tersebut keluar ruangan, di halaman kantor, tiba-tiba personil dari kepolisian menangkap Marsal dan Apeng, dan selanjutnya diboyong ke Kantor Polres Tebing Tinggi. Anehnya, setiba di Polres Tebing Tinggi, rupanya Ibnu (yang menyerahkan uang) segera menyusul dan sudah berada di Polres Tebing Tinggi.

Selanjutnya diketahui, bahwa Ibnu pada hari itu juga membuat Laporan Polisi kepada pihak Polres Tebing Tinggi. Artinya, bahwa setelah kedua terdakwa ditangkap, laporan kepada pihak kepolisian pun dibuat. “Ada yang terkesan aneh dan ganjil, bahwa ketiga manajer sepakat menyerahkan kepada saksi Ibnu untuk menyelesaikan masalah dengan menyerahkan uang senilai Rp 30 juta sebagai bentuk kejasama koordinasi antara kedua belah pihak, namun ternyata setelah itu ada penangkapan yang didaduhlui atas pelaporan kepada pihak berwajib. Terbukti dengan proses penangkapan, pihak kepolisian sudah ada di lokasi dan siap menangkap.

Setelah ditangkap, lalu Ibnu membuat laporan polisi (pengaduan). Apakah pelaporan, penangkapan setelah penyerahan uang, dan pengaduan kepada pihak yang berwajib setelah penangkapan adalah bagian dari kesepakatan dari ketiga manajer tersebut untuk dilakukan Ibnu, atau hal ini atas inisiatif Ibnu sendiri?” Jelas Tim PH Marsal dan Apeng.

Demikian proses penangkapan yang terjadi, selanjutnya kedua jurnalis tersebut harus mengikuti beberapa kali proses persidangan. Kepada kedua terdakwa (Marsal dan Apeng) dikenai Pasal 368 ayat (1) KUHPidana tentang pemerasan dan/atau kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut kedua terdakwa dengan pidana penjara 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan penjara kepada Marsal, dan 2 (dua) tahun kepada Apeng. Terkait barang bukti, JPU juga menyatakan bahwa: (1) Uang tunai sebesar Rp 30 juta dikembalikan kepada pihak pelapor; (2) 1 (satu) unit Handphone milik Ibnu Syahputra Sutomo dikembalikan kepada pemilik; (3) 1 (satu) unit Handphone merk Vivo V11, hitam, dirampas untuk dimusnahkan; (4) 1 (satu) unit Handphone merk Vivo Y19, hitam, dirampas untuk dimusnahkan; (5) 1 (satu) unit Handphone merk OPPO A57, rose gold, dirampas untuk dimusnahkan; (6) 1 (satu) lembar kwitansi bukti penyerahan uang, dirampas untuk dimusnahkan; dan (7) 1 (satu) unit mobil Datsun dirampas untuk negara.

Sementara itu, dalam pledoinya, Tim PH Marsal dan Apeng memaparkan bahwa tuntutan JPU tidak bersesuaian dengan fakta persidangan, dan secara tegas menolak dan tidak sependapat dengan tuntutan tersebut. 
Terkait pasal 368 ayat (1) KUHPidana tentang pemerasan dan/atau kekerasan, dan/atau ancaman kekerasan, yang kenakan kepada kedua terdakwa, terungkap sebagai fakta persidangan bahwa baik JPU maupun para pelapor tidak dapat menunjukkan barang bukti secara fisik (seperti berupa benda tajam/tumpul) yang digunakan terdakwa sebagai alat mengancam kepada pihak pelapor yang dapat mengakibatkan cidera atau akibat lain yang lebih parah secara fisik.

Selanjutnya, terkait tekait efek fisikis yang dikatakan pihak pelapor menjadi stress, takut dan tertekan, seyogianya harus dibuktikan secara medis (oleh dokter atau psikatier), baik JPU maupun pihak pelapor tidak dapat membuktikannya.

Dalam pledoi Tim PH juga dipaparkan bahwa berdasarkan pertimbangan atas seluruh kesaksian para saksi (baik saksi memberatkan maupun meringankan), dan menurut keterangan terdakwa, intinya mengatakan bahwa serah terima tersebut terjadi atas dasar kesepakatan bersama, tidak ada unsur paksaan apalagi berupa ancaman, sehingga pertemuan tersebut disepakati di Kantor Perkebunan PTPN 3 Kebun Pamela (Kantor Ibnu). Artinya, tidak ada hal-hal yang perlu dikhawatirkan oleh kedua belah pihak akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, meski setelah itu di luar dugaan kedua terdakwa terjadi penangkapan kepada mereka.

Selama proses serah terima uang di dalam ruangan kantor, juga tidak ada perdebatan, apalagi pertengkaran yang mengandung unsur pemaksaan dan pengancaman. Serah terima uang berlangsung dalam suasana akrab, dan dibuktikan dengan penyodoran kwitansi untuk ditandatangani oleh terdakwa dengan isi kwitansi adalah koordinasi antara kedua belah pihak PT. Lasser Media Indonesia dengan PTPN 3 Kebun Gunung Pamela, Gunung Para, dan Silau Dunia.

Pada bagian fakta analisis dalam pledoi Tim PH dipaparkan bahwa serah terima uang tersebut adalah atas kesepakatan bersama, oleh karena itu, sesuai analisis fakta persidangan, jelas menunjukkan bahwa perkara ini adalah perkara perdata, karena ada penyerahan penerimaan uang sebagaimana tertulis dalam kwitansi. Hal ini dikuatkan oleh kesaksian yang disampaikan oleh Dr. Ismaidar, S.H., M.H selaku saksi ahli yang mengatakan bahwa kasus ini adalah kasus perdata.

Masih dalam pledoi Tim PH, bahwa dari proses dimajukannya perkara ini sebagai perkara pidana, terdapat beberapa kejanggalan, antara lain: (1) fakta persidangan tidak ada bukti yang menunjukkan suatu kejadian atau situasi keributan atau kegaduhan, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kedua terdakwa; (2) saksi Ibnu membuat laporan polisi setelah terdakwa tertangkap (yang dapat dikategorikan sebagai penipuan). Kesimpulannya, bahwa perkara ini adalah kriminalisasi yang disengaja direkayasa menjebloskan terdakwa ke dalam penjara.

Berdasarkan semua pertimbangan di atas, Tim PH terdakwa melalui pledoinya memohon kepada Hakim agar: (1) menyatakan seluruh dakwaan tidak sah dan meyakinkan; (2) menyatakan nota pembelaan (pledoi) PH terdakwa diterima seluruhnya; (3) membebaskan terdakwa dari segala dakwaan; (4) membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum jenis apapun; (5) melepaskan terdakwa dari segala jenis tahanan; (6) memulihkan nama baik terdakwa kepada keadaan semula; dan (7) membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada negara.

Proses sidang yang akan dijalani terdakwa tinggal satu kali lagi, yaitu mendengarkan putusan hakim (vonis). Baik pihak PH, keluarga, maupun dari ranah pers (jurnalistik), berdasarkan fakta-fakta dan proses persidangan, semua mengharapkan agar hakim dapat membuat putusan yang seadil-adilnya. Dengan keputusan yang seadil-adilnya, maka untuk selanjutnya tindakan-tindakan kriminalisasi kepada siapapun, khususnya terhadap insan pers (jurnalis) tidak terjadi lagi. (Red).

199 Pembaca
error: Content is protected !!