Kabarsimalungun.com. JAKARTA – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah berlaku selama kurang lebih 16 (enam belas) tahun, dalam implementasinya masih ditemukan beberapa permasalahan.
Fachrul Razi menegaskan bahwa Komite I DPD RI akan mengkaji secara mendalam agar revisi UU PA on the track dengan perjanjian MoU Helsinki. “Revisi UUPA ini menegaskan kewenangan Aceh, perpanjangan dana Otsus Aceh selamanya dan persentase dana otsus diatas 2 persen,” tegas Fachrul Razi.
Permasalahan yang ditemui Komite I DPD RI di antaranya perekonomian masih sangat bergantung pada APBN/APBA/APBK, munculnya friksi dan konflik para elit Aceh menjelang pilkada, kurang harmonisnya relasi pemeritah daerah Aceh dengan pemerintah pusat, dan kurangnya pelibatan komponen rakyat Aceh.
“Hal ini jelas menjadi sedikit berbeda dengan undang-undang otonomi daerah lainnya, UU Pemerintah Aceh bersifat lex specialis,” ujar Ketua Komite I Fachrul Razi, didampingi Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma dan Ahmad Bastian pada RDPU bahas evaluasi atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), di Gedung DPD RI, Selasa (18/1/22).
Komite I DPD RI melihat di tahun 2022 tidak ada rencana pembahasan revisi tripartit dengan DPR dan Pemerintah. Tapi Komite I DPD RI memastikan pada tahun 2023 Revisi UU Pemerintah Aceh dapat dibahas. Oleh karena itu Komite I DPD RI mempersiapkan penyusunan draft bahan dan naskah akademik Revisi UU Pemerintah Aceh.
“Komite I melihat bahwa persiapan pembahasan draft revisi UU Pemerintah Aceh yang lebih cepat untuk membuat agar tidak terkesan tergesa-gesa seperti UU yang belakangan ini disahkan seperti UU Ciptaker,” sebutnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma menjelaskan bahwa Aceh telah belajar dari Papua dan begitu juga sebaliknya, mana yang kurang kita sempurnakan dari masing-masing Otsus dari kedua daerah ini.
“UU ini untuk menyelesaikan konflik dan bagaimana tercipta win-win solution,” ujarnya.(Tim-red)