Calon Pewarta Warga: PPWI Memang Bukan Organisasi Wartawan Biasa, Tidak Bisa Merusak Pers Dunia

Malangbong – Membaca berita seorang petinggi Dewan Pers mengatakan PPWI bukan organisasi wartawan sangat menarik untuk didalami. Dilanjutkan dengan bisa merusak Pers Nasional. PPWI singkatan dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia atau dalam bahasa Inggris adalah Indonesian Citizen Reporter Association.

Calon Pewarta warga, Johan D Wangsa mengatakan, dari laman https://pewarta-indonesia.com, PPWI adalah organisasi nirlaba yang menjadi wadah para jurnalis warga (citizen journalist). “Tidak ada yang menamakan wartawan bukan? Tetapi pewarta warga, yang memiliki makna lebih luas daripada wartawan. Bukan saja membuat berita namun juga bisa menciptakan berita atau bahkan menjadi narasumber bagi wartawan-wartawan sekalipun,” kata Johan kepada awak media, Selasa (15/3/22).

Terus sering banyak pertanyaan muncul, apa pewarta warga apa wartawan. Nah ini yang membedakan. “Pewarta warga memang tidak murni hanya pencari namun bisa sebagai pencipta berita karena pewarta warga adalah siapapun di luar anggota konstituen Dewan Pers (dalam persepsi ini),” katanya.

Para pewarta warga tidak mengaku sebagai wartawan, wartawan profesional, jurnalis top dan sebutan setara dengan nama-nama yang sangat keren. Namanya juga pewarta warga. Namun jangan disangka keahliannya bisa di atas wartawan yang bekerja di media mainstream papan atas sekalipun.

“Misalnya youtuber, biro-biro humas instansi, tik-toker, blogger atau siapapun yang bukan anggota konstituen Dewan Pers yang membuat publikasi dan dikonsumsi publik, mereka bukan wartawan, masuk kategori pewarta warga,” terangnya.

Pewarta warga murni membuat konten tanpa ‘framing’ atau pengkondisian karena bekerja secara independen dari mencari informasi hingga pengeditan dan penayangan. “Memang rawan dengan laporan UU ITE dan KUHP. Tapi itu jika memberikan informasi hoax, tanpa konfirmasi, tanpa data dan asal tayang,” ungkapnya.

Sedangkan media besar atau mainstream menggunakan sistem. Wartawan sebagai karyawan yang liputannya sudah diarahkan sesuai kebijakan redaksi perusahaan. Bagaimana jika wartawan ini menulis sesuai kehendak hatinya dan tidak ikut arahan perusahaannya?

“Resikonya ya tidak dapat ‘desk’, tidak ada jadwal dan akhirnya apa yang terjadi? Selesai. Karena statusnya karyawan,” bebernya.

Apakah penulis warga bukan wartawan? Apakah laptop bukan komputer? Nah kira-kira begitu pengandaiannya, kata seorang pemilik media online yang sering wara-wiri di Mabes Polri tapi tidak pernah mengaku wartawan.

“Pewarta warga adalah laptop yang simpel bisa bekerja dimanapun jadi. Wartawan ibarat komputer. Ada PC (Personal Computer), ada mouse, ada keyboard, dan ada monitor dan kabelnya. Apakah komputer bisa kerja dimanapun kalau komplit? Tentu tidak. Komputer memerlukan daya, atau listrik untuk bisa nyala. Itu ibarat sumber daya untuk bisa kerja walaupun hanya satu jam. Sedangkan laptop walaupun perlu sumber daya, namun jika dipakai dalam waktu yang lama,” ungkapnya.

Tujuan dari kegiatan tersebut dipastikan sama yaitu menyampaikan kepada publik apa yang terjadi. Timbul pertanyaan, apakah media mainstream atau bermodal besar tidak membutuhkan pewarta warga?

“Kejadian tsunami Aceh yang direkam pewarta warga viral di TV nasional seperti Metro TV, RCTI atau TV lain? Nah apakah pewarta warga tersebut salah? Menginformasikan apa yang terjadi sesuai fakta?” terangnya memisalkan.

Siapa yang tak kenal YouTube sekarang? Dari balita hingga manula, menonton hiburan, berita dan curhatan seorang dari platform ini. Youtuber masuk dalam lingkup pewarta warga. “Sebut saja Felipe Valdes, YouTuber asal Brazil yang juga anggota PPWI Internasional ketika di Jakarta diwawancarai tv nasional, statusnya juga sebagai pewarta warga. Jadi bukan sebagai wartawan,” ungkap pengamat yang pernah liputan selama hampir sebulan di Korea Selatan ini.

Pewarta warga juga mendapat tempat di beberapa media besar. Berkat teknologi yang memberikan kapasitas unlimited dalam konten sehingga pewarta warga juga dirangkul dalam rubrik media besar tersebut. “Ambil contoh media ternama di Asia Tenggara, kompas.com. ada rubrik Kompasiana, dimana warga bisa mengisi rubrik tersebut. Kendati melalui editorial namun penulis aslinya adalah pewarta warga. Jadi pewarta warga sudah mendapat tempat di media besar,” jelasnya.

Jurnalisme warga muncul karena kebuntuan warga mendapatkan informasi terbaru dan terjujur dan mendorong warga agar tumbuh menjadi masyarakat yang cerdas. “Dalam sebuah diskusi yang diadakan Dewan Pers di Yogyakarta tahun 2009, Budiono Darsono (Pemimpin Redaksi detik.com- saat itu) mengatakan jurnalisme warga justru membuat media mainstream lebih efisien. Jurnalisme warga menghadirkan begitu banyak informasi. Bahkan menjadi sumber informasi yang luar biasa di media mainstream,” terangnya.

Dikatakan pewarta warga dapat merusak nama baik pers, itu hanya sebuah momok yang mengkhawatirkan. Tuan yang ada di Dewan Pers ini atau media konstituennya dimohon tenang, jangan resah dengan adanya pewarta warga ini apalagi PPWI.

“PPWI adalah organisasi yang independen. Tidak menggunakan anggaran negara atau APBN dan menjaring pewarta warga di seluruh dunia. Punya pangsa pasar dan audiens sendiri, bayar pajak, izin Kemenkumham. Katakan ilegal atau abal-abal berarti sama saja merendahkan kementerian yang memberi izin organisasi yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), merendahkan martabat Kementerian Keuangan yang menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),” jelasnya. (*)

278 Pembaca
error: Content is protected !!
Exit mobile version