Oleh Wilson Lalengke
Bandar Lampung – Bulan Ramadan 1443 H (tahun 2022 Masehi-red) baru saja berlalu. Selama sebulan penuh kaum muslimin dan muslimat di seluruh dunia menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan tersebut. Setelah itu, Ramadan diakhiri dengan Idulfitri 1 Syawal 1443 H, yang dirayakan secara amat meriah di mana-mana.
Saya beruntung, pada tahun ini diberi kesempatan melewati dan menjalani saat-saat Ramadan dan berlebaran bersama puluhan penghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Mapolda Lampung. Ramadan dan lebaran di penjara merupakan sesuatu yang unik, berbeda dengan suasana yang dialami oleh masyarakat kebanyakan di luar sana.
Menjalankan ibadah puasa di penjara relatif lebih mudah, lebih nyaman dan aman, serta jauh berbagai gangguan maupun godaan yang dapat membatalkan ibadah puasa. Semua warga tahanan yang notabene berasal dari berbagai latar belakang agama, suku, daerah dan budaya “diwajibkan” untuk bangun makan sahur. Pembagian ransum (makanan-red) hanya dilakukan pada jam sahur dan saat menjelang berbuka puasa. Hal ini tentunya menciptakan suasana puasa terasa lebih khusuk dan nyaman bagi setiap tahanan, khususnya yang beragama Islam.
Namun demikian, tidak dipungkiri ada saja warga tahanan yang bandel. Melalui aplikasi gojek dan go-food mereka memesan makanan dari luar atau restoran di luar Mapolda. Suatu hari, di minggu ke-3 Ramadan, tiga orang polisi yang sedang menjalani hukuman disiplin dan ditahan di Rutan Mapolda Lampung ini, memesan makanan di siang hari.
Karena kebingungan di Komplek Mapolda yang cukup luas, driver go-food yang mengantarkan makanan tersesat (nyasar) masuk ke Gedung Propam Polda Lampung. Alhasil, seorang petugas Provost mengantarkan sang driver ke Gedung Rutan. Setiba di Rutan, sang Provost yang berbadan tinggi-besar itu memanggil ketiga polisi bandel pemesan makanan dan menghukum ketiganya. Sejak itu, semua berjalan aman dan terkendali.
Suasana kekeluargaan antar penghuni Rutan sangat kental. Hampir seluruh tahanan yang berjumlah 30-an orang di belasan kamar/sel yang ada di blok tempat saya ditahan, saling mengenal satu dengan lainnya. Selama Ramadan, seperti juga hari-hari lainnya, mereka saling berbagi makanan berbuka.
Selasa dan Jumat merupakan hari spesial yang selalu dibanjiri makanan berbuka. Pada kedua hari tersebut banyak keluarga tahanan datang membezuk. Kedatangan mereka ke Rutan tentu saja dilengkapi dengan membawa bekal makanan, minuman dan kebutuhan lainnya. Makanan bawaan para pem-bezuk itu, oleh yang di-bezuk, hampir pasti akan dibagikan ke tahanan lainnya. Suasana ini sungguh merupakan hal yang indah bagi saya selama di tahanan.
Lebaran 1 Syawal 1443 H, atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 2022 Masehi, tiba! Seperti hari-hari sebelumnya, seluruh penghuni rutan sudah bangun menjelang sholat Subuh. Seorang Polisi Baik, yang tengah menjalani hukuman akibat dikriminalisasi terkait illegal logging yang melibatkan oknum petinggi Polri, Polhut, dan TNI, bersama kami di Rutan ini, bermurah hati memesan nasi uduk untuk makan pagi semua penghuni Rutan. Alasannya sederhana. Selain untuk bersedekah, sang Polisi Baik itu tidak ingin melihat para tahanan kebingungan saat bangun subuh/pagi tidak mendapatkan makan pagi sebagaimana biasanya mendapat ransum untuk makan sahur.
Sholat Id dilaksanakan di koridor tengah ruang tahanan, Semua pintu kamar/sel dibuka agar seluruh tahanan dapat keluar sel dan berbaur menyatu di koridor tengah untuk mengikuti sholat Id. Sholat Idulfitri berlangsung dengan lancar dan hikmad dipimpin oleh seorang ustad, yang juga merupakan warga tahanan atas sangkaan pidana kasus narkoba.
Hal menarik lain dari Ramadan dan lebaran di Rutan Mapolda Lampung ini antara lain terkait pola pikir yang terbentuk di kalangan warga tahanan. Kesadaran setiap tahanan sebagai orang yang dipersalahkan dan tersalahkan membuat mereka mengerti benar tentang arti “saling memaafkan” dan pertobatan di hari raya Idulfitri. Setiap mereka tahu jenis dan bentuk kesalahan yang telah diperbuat, yang untuk itu perlu meminta maaf dan bertobat.
Hal demikian biasanya sulit dijumpai pada mereka yang merayakan Idulfitri pada kondisi normal. Warga di luar sana juga saling bersilaturahmi dan bersalam-salaman saling memaafkan. Namun umumnya mereka tidak tahu tentang kesalahan dan/atau dosa apa yang telah dilakukan untuk kemudian perlu meminta dan/atau memberi maaf.
Kalimat ‘tidak ada gading yang retak, tidak ada manusia yang tak pernah melakukan kesalahan’ menjadi tema sentral di hampir setiap pesan agama yang dikhotbahkan. Tema tersebut cukup efektif dalam menumbuhkan kesadaran bermaaf-maafan dan membina pertobatan yang hakiki di antara para ‘tersalahkan’ atau para ‘pendosa’ di Rutan ini. Tema itu sekaligus menjadi penjaga semangat bagi para tahanan untuk tetap menghargai nilai hidup dan kehidupan yang dikaruniakan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa bagi mereka.
Waktu yang berlimpah selama di tahanan memberi ruang yang amat luas bagi setiap penghuni Rutan untuk melakukan berbagai aktivitas keagamaan. Setiap warga dapat mengisi pundi-pundi pahala dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah sebanyak mungkin. Berhubung tidak ada kegiatan lain selain makan, tidur, mandi, dan (maaf) buang hajat, lebih baik waktu yang ada digunakan semaksimal mungkin untuk beribadah, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. (*)
*) Penulis Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI)