Dua Pimpinan DPD RI Diminta Mundur Pada Rapat Paripurna Luar Biasa DPD RI

Kabarsimalungun.com ||| JAKARTA – Wacana rotasi posisi Fadel Muhammad dari Wakil Ketua MPR RI unsur DPD RI kembali mencuat di Sidang Paripurna Luar Biasa ke-1 DPD RI, Selasa (13/9/2022). Dua pimpinan DPD mengaku mencabut tandatangannya di Sidang Paripurna sebelumnya.

Namun, hal itu tak mengganggu keputusan yang telah diambil dalam Sidang Paripurna sebelumnya yang menyatakan menarik Fadel Muhammad dari Wakil Ketua MPR RI unsur DPD RI.

“Keputusan yang telah diambil di Sidang Paripurna hanya bisa ditarik melalui Sidang Paripurna juga. Jadi, meski ada dua pimpinan yang menarik tandatangan, tidak ada masalah. Kita hormati saja. Hadapi dengan dewasa. Ini hal biasa dalam demokrasi,” kata Mahyudin, pimpinan sidang di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan.

Nada keras disampaikan oleh Fachrul Razi, Senator asal Aceh. Ia meminta Nono dan Sultan mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPD RI.

“Ini mengecewakan tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi seluruh anggota. Sesuai Tatib Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 57, tugas pimpinan adalah Melaksanakan dan Memasyarakatkan Keputusan DPD. Ini malah mencabut tandatangan. Saya minta Pak Nono dan Pak Sultan mundur dari pimpinan karena tak bertanggungjawab terhadap keputusan yang sudah diambil,” tegas Fachrul Razi.

Fachrul Razi menilai sikap dua pimpinan yang mencabut tandatangan menunjukkan sikap mempermalukan hasil paripurna dan merendahkan lembaga DPD RI. Fachrul Razi menegaskan hasil paripurna harusnya dilaksanakan oleh pimpinan, sesuai tatib DPD RI, tindakan mencabut tanda tangan adalah melanggar tata tertib dan Kode Etik DPD RI.

Sidang Paripurna Luar Biasa ke-1 membahas laporan pelaksanaan tugas Komite IV tentang Pertimbangan DPD RI Terhadap RUU APBN Tahun Anggaran 2023 dan Pertimbangan DPD RI Terhadap RUU Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021.

Di akhir sidang, Nono Sampono dan Sultan B Najamudin meminta waktu untuk mengklarifikasi tindakannya mencabut tandatangan dari persetujuan keputusan hasil Sidang Paripurna mengenai Mosi Tidak Percaya terhadap Fadel Muhammad.

“Saya perlu mengklarifikasi, karena saya tidak mau berbalas pantun di Forum WA yang malah bisa menjadi bias. Dalam pandangan saya ada beberapa hal yang harus saya jawab,” tutur Nono.

Nono mengaku tahu bahwa ada pengumpulan tandatangan Mosi Tidak Percaya dari anggota DPD terhadap posisi Fadel Muhammad. Namun, Nono mengesampingkan hal itu, lantaran tak diatur dalam UU MD3 maupun Tata Tertib DPD RI.

“Saya ingin melihat dulu apa dasar hukumnya. Pada Rapim lalu kami berembuk. Akhirnya kita sepakat untuk dibawa ke BK (Badan Kehormatan). Ternyata berlanjut terus. Kami kemudian berembuk lagi, kita ikuti saja dinamika ini. Tapi ujungnya, saya tetap tidak akan tandatangan,” jelas Nono.

Nono berdalih bahwa Surat Keputusan berlaku sejak ditetapkan. Dan, tetap dibuka ruang untuk dikoreksi kembali. “Apabila ada kekeliruan bisa dilakukan pembetulan. Saya merasa saya tidak tandatangan. Mungkin itu keteledoran saya,” tutur Nono.

Nono juga sempat menyinggung adanya ucapan yang menurutnya cukup menggelitik.

“Saya disebut jalan sendiri tanpa ada koordinasi dengan pimpinan lain. Saya disebut Jenderal yang takut dituntut Pak Fadel. Buat saya ini sudah menyinggung masalah pribadi dan terkait martabat saya,” kata Nono.

Usai Nono, giliran Sultan B Najamudin yang menyampaikan pendapat. Apapun yang terjadi, ia meminta agar disikapi dengan dingin. “Sejak awal hingga diputuskan, saya tetap meminta agar dilakukan kajian, agar kita dapat menghasilkan keputusan yang baik,” tutur Sultan.

Menurutnya, apa yang terjadi merupakan hal yang lumrah. Hal ini bagian dari dinamika demokrasi dan sesuatu yang konstruktif serta menjadi peluang DPD RI dalam meningkatkan kinerja.

“Hanya saja, dinamika tersebut jika tak dikelola dengan baik, arif dan bijaksana, justru akan merugikan kita semua secara kelembagaan. Maka, harus dikelola dengan baik agar kita dapat menata, agar ke depan lembaga kita betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” tutur Sultan.

Dikatakannya, dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab demi menjaga marwah lembaga, ia menarik tandatangan atas keputusan tersebut.

“Saya secara pribadi dapat memahami dan menghormati kolega saya yang berjumlah 97 orang yang menandatangani Mosi Tidak Percaya,” kata Sultan.

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, merinci keputusan mengenai Fadel Muhammad. Menurutnya, segala keputusan dan perbincangan telah terdokumentasikan dengan baik.

“Jika dikatakan akan diputuskan di BK, saya kira tidak ada kesepakatan itu. Silakan dibuka seluruh rekamannya. Tidak ada satu kalimat pun bahwa persoalan ini akan dibawa ke BK. Ada risalah dan rekamannya,” tutur LaNyalla.

Bambang Santoso asal Bali menilai keputusan yang telah diambil dalam Sidang Paripurna tak bisa lagi diganggu gugat.

“Kalau mau mencabut tandatangan, silakan saja cabut. Tidak akan mengganggu keputusan yang telah diambil,” tegas Bambang.

Ia justru menyayangkan sikap Nono dan Sultan yang seakan-akan memainkan aspirasi mayoritas anggota DPD RI. “Membuat keputusan lantas dicabut. Ini seperti main-main. Jangan main-main dengan Mosi Tidak Percaya dari anggota,” tutur Bambang.

Hal senada diungkapkan oleh Alirmansori Senator asal Sumbar. Menurutnya, penarikan tandatangan di Surat Keputusan Paripurna tidak membatalkan apapun. Dan perlu diingat, lanjutnya, penandatanganan itu adalah kewajiban Pimpinan sebagai konsekwensi dari jabatan, bukan pilihan boleh menanda tangani atau tidak.

“Tidak menandatangani atau mencabut tanda tangan mengandung konsekwensi lain lagi,” tandas Alirman.

Senator asal Papua Barat, Sanusi Rahaningmas menyayangkan hal ini terjadi. Menurutnya, pimpinan harus kolektif kolegial dalam mengambil keputusan. “Apa yang dilakukan saat Paripurna yang lalu itu sudah benar. Paripurna itu tidak pura-pura,” tutur Sanusi.(*)

190 Pembaca
error: Content is protected !!