JAKARTA – Evaluasi terhadap penetapan tersangka korban begal sebagaimana dikemukakan oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto sejalan dengan prinsip dasar dari hukum pidana.
Hal ini disampaikan oleh pakar hukum pidana Dr. Alpi Sahari, SH.M.Hum kepada awak media Sabtu (16/04) terkait viralnya penetapan tersangka terhadap korban begal di Polres Lombok Tengah, Polda NTB.
“Evaluasi penetapan tersangka terhadap korban begal di NTB dengan dasar rasa keadilan masyarakat dan legitimasi masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Komjen Agus Andrianto sejalan dengan prinsip dasar dari hukum pidana”, tegas Dr. Alpi Sahari.
Lebih lanjut Dr. Alpi Sahari mengatakan evaluasi penetapan tersangka terhadap korban begal di NTB dengan dasar rasa keadilan masyarakat dan legitimasi masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Komjen Agus Andrianto sejalan dengan prinsip dasar dari hukum pidana itu sendiri yang tidak hanya berpatokan pada asas nullum delictum yang mengandung makna perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik.
Masih menurut Dr. Alpi Sahari didalam hukum pidana terdapat asas yang harus juga diperhatikan penyidik yakni melawan hukum yang dimaknai bukan hanya formile wedertelijkheid (telah memenuhi rumusan delik) namun juga materiel wederteljkheid (fungsi pencelaan/legitimasi masyarakat, rasa keadilan masyarakat) sebagai syarat untuk dapat atau tidaknya penyidik dalam pelaksanaan kewenangannya untuk menetapkan tersangka.
Kalangan penegak hukum khususnya penyidik saat ini sangat kurang memahami ajaran the utilitarian theory of excuse atau teori kemanfaatan alasan pemaaf sebagai bagian dari the utilitarian theory of punisment atau teori manfaat dari hukuman.
Adapun kemanfaatan pemidanaan yakni: Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan diri pada pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan.
Di dalam hukum pidana terdapat alasan pema’af dan pembenar sebagai alasan penghapusan pidana yang seharusnya tidak difahami penyidik bahwa undang-undang menyatakan demikian, namun harus dimaknai kenapa undang-undang menyatakan demikian (apabila penyidik tidak mau dikatakan sebagai substantif otomat: corong undang-undang), untuk itu penyidik harus memaknai alasan pembenar karena pembelaan terpaksa sebagaimana dimaksud dalam rumusan delik, karena pembelaan terpaksa berada dalam area actus reus bukan berada dalam area mens rea yang didasarkan pada penilaian hakim.
Actus reus begitu penting bagi penyidik dalam melakukan penyidikan dan penetapan tersangka termasuk pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHPidana yang menyatakan “barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”, seharusnya penyidik mencari dan mengumpulkan bukti terkait actus reus pembelaan terpaksa bukan pada actus reus Pasal pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati nya orang, inilah yang dimaksud dengan asas material wedertelijkhed di dalam hukum pidana yang mengandung arti penjatuhan pidana tidak akan memberikan manfaat sedikitpun justru akan melukai keadilan masyarakat (pointless punishment) atau pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian masyarakat.
Inilah sebagaimana dikemukakan oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto “masyarakat takut melawan kejahatan”. Pada awalnya pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat di zaman kuno yang menyatakan vim vi repellere licet artinya kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan.
Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka menegakkan ketertiban umum. Demikian pula prinsip moral dalam proses pidana (non scripta sed nata lex).
(*/red)