Jakarta – Pemandangan tidak biasa yang terjadi di perhelatan HUT TNI, 5 Oktober 2022, baru-baru ini mendapat banyak perhatian dari publik. Dalam video yang beredar luas itu terlihat Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo enggan menyalami Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Fenomena langkah nan memprihatinkan bagi Kapolri itu memunculkan berbagai komentar dari para pemerhati Polri maupun netizen.
Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA turut berkomentar terkait hal tersebut. Ia menyatakan bahwa peristiwa itu cukup memalukan dan semestinya menjadi peringatan keras bagi Kapolri bersama jajarannya untuk berbenah secara total dan konsisten.
“Ini cukup memalukan bagi Kapolri dan institusinya. Bagaimana mungkin seorang Kepala Negara yang terkenal ramah dan sabar itu bisa berlaku pilih kasih dengan tidak menyalami Sang Kapolri Listyo Sigit Prabowo, sementara tamu undangan lainnya disalami semua?” ujar Wilson Lalengke saat dimintai komentarnya, Jumat, 7 Oktober 2022.
Sudah barang tentu ini harus menjadi catatan penting bagi Kapolri dan seluruh jajarannya bahwa Presiden Joko Widodo yang hadir sebagai Kepala Negara di acara super resmi tersebut sedang memberi peringatan keras kepada lembaga Kepolisian Republik Indonesia. “Sebagaimana diketahui bahwa dalam banyak kesempatan dan peristiwa, Jokowi sering mengirimkan pesan dengan bahasa tubuh atau body language kepada orang atau pihak yang ingin disapa, ditegur, dan atau diperingatkan,” jelas mantan guru Pendidikan Moral Pancasila SMA Plus Provinsi Riau dan SMKN 2 Pekanbaru ini.
Bahasa tubuh, tambah Wilson Lalengke, dalam beberapa kasus sangat efektif digunakan dalam interaksi antara komunikator (pemberi pesan) dan komunikan (penerima pesan). “Gerakan tubuh, kontak mata, postur tubuh, ekspresi wajah, volume suara, gerakan tangan, dan nada suara akan melengkapi setiap kata yang terucap,” bebernya.
Dalam kasus Jokowi enggan menyalami Kapolri di event HUT ke-77 TNI lalu, Polri semestinya sadar diri bahwa eksistensi dan kinerja mereka dinilai minus oleh Presiden Republik Indonesia. “Bagaimana tidak dinilai buruk, Joko Widodo selama ini sering diabaikan oleh Polri. Dalam kasus Ferdy Sambo misalnya, Presiden memberikan instruksi ke Kapolri hingga 4 kali yang intinya agar kasus tersebut diungkap seterang-terangnya dan setuntas-tuntasnya. Ini sebenarnya dapat dinilai sebagai bentuk pembangkangan Polri terhadap perintah Kepala Negara,” tegas lulusan program pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, itu.
Kinerja Polri yang buruk itu diperparah lagi dengan kasus Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang telah menewaskan tidak kurang dari 125 orang. “Presiden juga sudah menginstruksikan agar kasus Kanjuruhan itu diusut dengan tuntas. Dalam pandangan saya, dalam kasus yang dapat dikategorikan sebagai pembantaian massal itu, Kapolres Malang, Kapolda Jawa Timur, Kabaharkam, hingga Kapolri harus bertanggung jawab,” tutur Wilson Lalengke yang menjadi korban kriminalisasi Polri, Dewan Pers, dan PWI, beberapa waktu lalu itu.
“Bagaimana bentuk pertanggung jawaban Kapolri dan jajarannya atas peristiwa rusuh Kanjuruhan itu?” tanya media.
“Jika melihat pesan melalui bahasa tubuh Presiden Jokowi di acara HUT TNI lalu, saya mengartikan bahwa Presiden sudah apatis dan tidak percaya kepada Kinerja Polri. Jadi bentuk pertanggung-jawabannya adalah dengan mengundurkan diri. Kalau tidak, siap-siap dipecat Presiden,” tegas Wilson Lalengke menjawab pertanyaan wartawan.
Secara jujur, saat ini kepercayaan publik kepada institusi Polri sudah di titik nadir. Kalaupun ada hasil survey tentang kepuasan publik terhadap Polri yang menyatakan masyarakat masih percaya lembaga tersebut, itu dapat dikategorikan hoax alias survey berbayar.
“Jangankan rakyat, Presiden Jokowi saja sudah tidak percaya Polri, bagaimana mungkin mereka tetap percaya diri mengatakan bahwa mereka bekerja sungguh-sungguh dan benar sesuai peraturan yang ada?” kata Wilson Lalengke dengan nada tanya.
Oleh karena itu, menurutnya, jika Kapolri mencari kritikan paling keras terhadap Polri, maka kejadian Jokowi enggan menyalami Kapolri adalah kritikan paling dashyat yang mesti direspon Kapolri dengan revolusi luar biasa di internalnya. “Misalkan kita berjejer berlima orang, kemudian Presiden menyalami orang pertama dan kedua, tetiba giliran kita tidak disalami, langsung ke orang keempat dan terakhir, apa maknanya itu? Apakah mungkin itu suatu kekhilafan belaka? Itu hakekatnya merupakan pesan bahwa ‘Anda sebaiknya jangan ada di barisan ini!’ Itulah kritikan paling keras untuk Kapolri dan institusinya, yang seharusnya dijawab dengan mundur teratur keluar dari barisan, seterusnya pulang kampung berkebun seperti Komjen Pol Purnawirawan Susno Duadji,” cetus Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini mengakhiri komentarnya. (*/WIL/Red)
sumber : DPN PPWI Jakarta