Penulis : Heintje G. Mandagi (Ketua Dewan Pers Indonesia dan Ketum DPP SPRI)
Jakarta – Judul di atas mungkin terkesan ekstrim. Tapi fakta yang terjadi sulit bagi penulis untuk tidak mengatakan bahwa dalam kasus penangkapan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) telah terjadi legalisasi “law as a tool of crime” atau perbuatan menjadikan hukum sebagai alat kejahatan.
Polres Lampung Timur Polda Lampung boleh saja beralasan menjalankan tugas sesuai prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Laporan masyarakat memang wajib dilayani dan diproses sesuai ketentuan yang diatur.
Namun dalam kasus penangkapan Ketum DPN PPWI Wilson Lalengke atas laporan Polisi terkait pengrusakan karangan bunga pemberian warga yang sudah menjadi milik Polres Lampung Timur Polda Lampung diproses secara ‘membabi-buta’. Tak ada surat pemanggilan kepada terduga pelaku dan surat penetapan sebagai tersangka tiba-tiba Wilson Lalengke langsung ditangkap bak teroris saat hendak memperjuangkan keadilan terhadap wartawan di Mako Polda Lampung.
Wilson Lalengke kemudian diborgol dan diseret ke Mapolres Lampung Timur dan diperlakukan oleh oknum petugas Polisi seperti penjahat kelas berat.
Sebagai rekan seprofesi, penulis miris dan sedih melihat perlakuan aparat negara yang digaji dari keringat rakyat dan memperlakukan tokoh pers dan alumni PPRA 48 Lemhanas RI tahun 2012 ini seperti penjahat dalam kasus sepele.
Kapolres Lampung Timur AKBP Zacky Alkazar Nasution sesungguhnya bukan anggota Polisi yang masih berpangkat rendahan. Seharusnya paham bahwa pemberi karangan bunga ucapan selamat dalam bentuk apapun secara hukum sudah melepas hak kepemilikan atas barang yang diberikan kepada penerima. Itu sudah menjadi hukum positif yang berlaku di seluruh dunia. Jadi karangan bunga itu adalah milik Polres Lampung Timur bukan lagi milik si pemberi.
Bahwa terjadi insiden penurunan papan karangan bunga milik Polres Lampung Timur di halaman Mapolres oleh Wilson Lalengke lebih disebabkan reaksi berlebihan yang diakibatkan isi dari ucapan selamat itu berisi pelecehan terhadap wartawan dan seakan ingin membenturkan watawan dengan institusi Polres Lampung Timur dalam penanganan perkara pemimpin redaksi ResolusiTV.com Muhammad Indra.
Terlepas dari kejadian itu, Polres Lampung Timur seharusnya tidak memproses laporan Polisi yang dilayangkan seseorang yang mengaku pemilik papan karangan bunga yang sejatinya sudah menjadi milik Polres Lampung Timur.
Penulis ingin lebih menarik jauh ke belakang terkait apa sebetulnya yang diperjuangkan Wilson Lalengke di Polres Lampung Timur. Wilson sedang tidak membela pengusaha kaya tapi sedang memperjuangkan hak azasi anggota PPWI yang diduga dikriminalisasi.
Wilson yang saya kenal bukan sekali ini membela kepentingan wartawan yang terdholimi, tapi warga umum sekalipun tak luput dari perhatiannya. Bahkan seorang ibu anggota Bhayangkari, isteri perwira Polisi di Polda Sulut yang menjadi korban kriminalisasi turut pula dibelanya mati-matian. Karena Wilson menentang keras praktek legalisasi hukum sebagai alat kejahatan untuk mengkriminalisasi orang yang tak bersalah.
Akan halnya anggota PPWI Muhammad Indra, pemimpin redaksi ResolusiTV.com yang menjadi korban kriminalisasi ikut dibela Wilson tanpa pamrih. Jauh-jauh dari Jakarta terbang ke Lampung untuk membela anggotanya yang didholimi.
Dalam keterangan pers yang disampaikan Wilson selaku Ketua DPN PPWI usai korban kriminalisasi pers Muhammad Indra ditahan penyidik Polres Lampung Timur, secara gamblang diungkapan kronologis kejadian penangkapan terhadap korban di rumahnya.
Sebelum ditangkap, Muhammad Indra diungkapkan sempat memberitakan peristiwa seorang istri menggrebek suaminya lagi berselingkuh dengan wanita idaman lainnya. Terduga pelaku perselingkuhan itu bernama Rio yang disebut-sebut merupakan pimpinan organisasi masyarakat dan diduga orang dekat Bupati di Lampung.
Pasca pemberitaan itu, Rio bersama keponakannya Noval yang juga berprofesi sebagai wartawan meminta Muhammad Indra melakukan pertemuan untuk membicarakan kasus perselingkuhan yang diberitakan di media ResolusiTV.com.
Pihak Rio meminta bantuan Noval agar persoalan itu diselesaikan secara baik-baik dengan Muhammad Indra. Meskipun sibuk dengan kegiatan medianya, Indra akhirnya mengorbankan waktu dan kesibukannya untuk memenuhi permintaan Noval rekannya sesama wartawan untuk bertemu di Masjid Desa Sumbergede.
Dalam suasana damai dan kekeluargaan Muhammad Indra bersedia menolong rekannya Noval agar berita tentang perselingkuhan pamannya Rio untuk dihapus dari halaman media online ResolusiTV.com.
Dan Noval pun memberikan uang kepada Muhammad Indra sebagai uang pengganti transport serta waktu yang diberikan untuk bertemu menyelesaikan persoalan nama baik pamannya dengan pendekatan sesama profesi.
Uang yang diterima Muhammad Indra tidak banyak karena hanya 3 juta rupiah sehingga tidak layak dikategorikan pemerasan. Itupun bukan permintaan Indra melainkan pemberian. Yang pasti uang itu tidak diterima korban, kriminalisasi pers terhadap Muhammad Indra, dari Rio sang pelapor.
Pertemuan itu rupanya bagian dari skenario untuk menjebak Muhamad Indra setelah menerima uang dari Noval. Rio yang secara langsung tidak memberikan uang kepada Muhammad Indra justru menghianati kesepakatan dan pertemuan di Masjid dengan melaporkan Muhammad Indra dengan tuduhan pemerasan.
Dari peristiwa pertemuan itu sudah bisa dipastikan ada skenario yang dilakukan Rio bersama Noval untuk menggunakan hukum atau pasal pidana pemerasan terhadap pimred resolusiTV.com Muhammad Indra dengan bukti pemberian uang tersebut ke Polisi.
Bagi penulis cukup sulit untuk tidak berprasangka bahwa oknum aparat Polres Lampung Timur Polda Lampung tidak terlibat dalam skenario legalisasi law as a tool of crime yang diterapkan Rio untuk menjerat Muhammad Indra.
Sepertinya tabiat Rio yang suka berkhianat kepada isterinya ikut pula dipraktekan kepada Mumammad Indra dengan menghianati kesepakatan dan niat baiknya menolong untuk menghapus berita perselingkuhannya di media online ResolusiTV.com agar nama baik Rio bisa tetap terjaga.
Bagaimana mungkin Polisi memproses tuduhan pemerasan dengan uang yang hanya berjumlah 3 juta rupiah yang diterima tersangka Muhammad Indra. Serendah itukah parameter nilai uang pemerasan menurut Polres Lampung Timur Polda Lampung?. Polisi sangat jelas tidak memperlihatkan profesionalismenya ketika menangani perkara ini. Sejatinya wartawan yang dilaporkan dimintai keterangan dulu.
Motif atau mens rea dalam kasus ini pun gak ada sama sekali. Karena berita terkait kasus tersebut sudah dimuat di media online ResolusiTV.com oleh Muhammad Indra. Dari mana Polisi dan pelapor memiliki bukti ada pemerasan atau permintaan uang dari Muhammad Indra kepada pelapor dalam jumlah besar karena tujuan pemberitaan.
Faktanya berita sudah naik dan terpublikasi. Di mana letak pemerasannya lalu Polisi bertindak fulgar dan menggerebek rumah tersangka Muhammad Indra dengan cara-cara yang kurang pas dan menggambarkan arogansi lembaga kepada rakyat yang menggajinya.
Operasi tangkap tangan kelihatan sekali sangat dipaksakan. Karena tersangka tidak pernah meminta uang kepada pelapor dan kejadian bukan di rumah tersangka melainkan di Masjid Desa Sumber Gede. Niat tersangka Muhammad Indra justru sebaliknya adalah itikad baik menolong pelapor agar nama baiknya bisa terjaga dengan bersedia menghapus berita perselingkuhanya. Fakta ini pun disaksikan langsung istri tersangka.
Akibat dari itu, wajar jika Wilson meradang karena anggotanya PPWI dikriminalisasi. Meskipun dalam proses pembelaan yang dilakukan Wilson itu telah terjadi rentetan peristiwa yang menyebabkan dirinya ditangkap Polisi.
Dengan fakta penangkapan Wilson Lalengke ini, penulis menjadi semakin yakin ada pihak yang sukses menjadikan law as a tool of crime. Dan pihak oknum Polres Lampung Timur Polda Lampung dan Kapolresnya harus ikut bertanggungjawab atas persoalan itu. Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo sebaiknya segera mencopot Kapolres Lampung Timur dan memberi sanksi kepada seluruh oknum penyidik yang melakukan penangkapan terhadap Wilson Lalengke yang melanggar prosedur. Polisi harusnya menunjukan profesionalisme bukan arogansi.
Terlepas dari semua itu, Wilson juga dikabarkan sudah meminta maaf kepada Polres Lampung Timur Polda Lampung karena sempat membentak petugas Polres Lampung Timur dan merobohkan papan karangan bunga. Selain itu Wilson juga meminta maaf kepada tokoh adat Lampung karena karangan bunga dari keluarga adat yang dirobohkannya menyinggung keluarga adat setempat.(***)