Oleh: Yan Djuna
Dahulu berdasarkan sejarah, Belanda yang memiliki luas wilayah 41.543 km² dan Jepang yang memiliki luas wilayah 377.975 km² diwaspadai karena musuh nyata rakyat karena menjajah Indonesia yang memiliki luas wilayah 1,905 juta km². Dahsyatnya Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Saat ini jumlah pulau di Indonesia kurang lebih 17.504, dan yang sudah dibakukan dan disubmisi ke PBB adalah sejumlah 16.056 pulau.
Sulitnya hidup di jaman penjajahan pada masa itu memaksa siapapun ingin bebas dari belenggu penjajahan dan perbudakan yang menyiksa.
Para pahlawan gigih memperjuangkan hak-hak azasi sebagai manusia sampai rela berkorban nyawa, harta dan segalanya meski hanya bermodalkan bambu runcing atau perlengkapan seadanya agar Indonesia menjadi negara merdeka, berdaulat dan bermartabat dan untuk keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Indonesia tidak akan merdeka seperti saat sekarang ini bila para pahlawannya tidak cerdas berinisiatif untuk merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui pembacaan teks proklamasi oleh Ir. Soekarno dengan dipersaksikan Mohammad Hatta yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia di jalan pegangsaan timur no. 56 di Jakarta pada hari Jum’at pukul 10 pagi. Dan peranan media yang mengabarkan berita gembira ini sangat besar.
Kecerdasan para pahlawan yang berkorban dan peranan media yang tak kalah cerdas menjadi duet terhebat yang menghantarkan kemerdekaan Indonesia. Artinya ketika kecerdasan digunakan untuk kebaikan maka manfaat nya akan dirasakan siapapun dimanapun di sepanjang masa meski banyak jiwa yang menjadi korban.
Dan Palestina menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto pada setahun sebelum kemerdekaan RI yang sebenarnya, yaitu pada 6 September 1944. Pengakuan ini disebarluaskan ke seluruh dunia Islam oleh seorang mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini.
Lalu bagaimana di jaman setelah kemerdekaan Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus 2021 lalu baru saja dirayakan ke-76 tahun di tengah krisis karena pandemi covid-19?
Adakah kecerdasan dan pengorbanan itu dilakukan oleh para pemimpin nya, dan oleh para generasi penerus bangsanya penikmat tiktok dan instagram di masa kini? Adakah penjajah yang masih harus diwaspadai? Yang menjadi musuh terbesar bangsa Indonesia? Apakah ada yang akan menjadi pahlawannya? Ternyata jawabannya ada, yaitu media, semua media apapun ragamnya saat ini yang berbasis internet baik dari luar negeri atau dalam negeri sendiri berpeluang.
Indonesia telah merdeka 76 tahun, dan dalam upaya pembangunan, harus berjuang perang melawan pandemi covid-19 yang melanda dunia. Dua tahun telah berlalu, pemberitaan tentang covid-19 pun masih sangat sengit dihimpun media-media seperti perang di masa penjajahan. Bahwa peranan media sebagaimana pada masa perjuangan dahulu sangat diperlukan untuk memenangkan perang kembali.
Sepertinya pemberitaan yang baik tentang covid-19 menjadi solusi. Sementara berita-berita buruk yang membuat panik mendatangkan penyakit di masyarakat. Dan media yang cerdas diharapkan menjadi pahlawan kembali.
Adakah yang berpikiran bahwa Belanda butuh 350 tahun untuk menaklukkan Indonesia dan Jepang butuh waktu 3 tahun sebelum akhirnya menyerah terhadap sekutu pada 15 Agustus 1945, imbas dari Nagasaki dan Hiroshima yang dibom?
Hanya ketika media memerdekakan pemberitaannya dengan berita yang positif dan menghibur maka pandemi akan berakhir. Untuk itu bersatulah media-media Indonesia, baik cetak, elektronik maupun media online, saling lah bahu membahu, saling tertib, berkoordinasi dan berkontribusi untuk banyak hal baik untuk Indonesia bebas covid-19.
Media-media yang terdiri dari para penulis, pembuat, dan penerbit berita saat ini sangat dibutuhkan untuk menjadi pahlawan pandemi.
Segala kebijakan oleh penyelenggara pemerintahan tentunya baik. Yang apabila oleh media dikabarkan baik maka yang diterima masyarakat juga baik tak perlu ikut kepentingan. Apalagi bila pemberitaan yang diwartakan dengan narasi yang cerdas, tentu masyarakat menjadi ikut cerdas juga.
Berita harus bijaksana dan mengutamakan nurani, moral, etika, tidak asal-asalan dan kata-kata yang patut. Memberitakan kabar kepada masyarakat tidak karena traffic, viral, dan visitor. Menggunakan kemampuan berpikir untuk menjadi kooperatif, kreatif dan tidak negatif. Ciptakan suasana kondisi damai dan tenang.
Dan merdeka melawan pandemi tampaknya hanya bisa diraih bila seluruh media informasi baik cetak dan elektronik atau media sosial kompak mengabarkan hal-hal positif untuk meningkatkan imunitas tubuh masyarakat. Masyarakat tidak akan takut divaksin bila media tidak mengabarkan berita negatif secara masif yang akhirnya menimbulkan ketakutan.
Media pemerintah atau non pemerintah yang cerdas dan bijak dapat menggiring opini publik yang berada di daerah yang tidak terjangkau sekalipun. Lawan pembodohan publik yang telah mendarah daging dan adalah warisan turun menurun dari para penjajah dengan pemberitaan cerdas. Pembaca pun demikian pula, harus cerdas menafsirkan maksud dan isi berita dengan tidak cepat terpancing emosi.
Pembodohan melalui pemberitaan dengan narasi yang menyesatkan apalagi HOAX bisa membuat sakit masyarakat. Dan ini tidak baik. Kecuali media yang mengabarkan memang dipesan untuk merusak kestabilan negara.
Intinya hanya media yang tahu kapan pandemi covid-19 berakhir. Pandemi covid-19 mungkin tak seberapa tapi karena pemberitaannya heboh maka membuat ketakutan.
Pertama sekali berjangkit di Wuhan, Tiongkok dan akhirnya menyeruak seperti sekarang ini lalu bermutasi menjadi delta, media yang mengabarkan bukan?
Perang melawan pandemi covid-19 mungkin bisa diibaratkan mirip dengan perang melawan penjajah dengan konflik senjata dan memang banyak korban jiwa dan tak sedikit harta melayang. Dan di Indonesia jangan sampai ini semakin berlarut tanpa solusi.
Peranan media yang pro-aktif sangat diperlukan untuk memberikan kesembuhan. Peranan para pembuat, pemilik beritanya termasuk organisasi dimana menjadi wadah pemberitaan sangat diharapkan kerjasamanya untuk mengawasi dan melawan berita tidak benar perihal covid-19.
Dulu kekuatan senjata yang dimiliki para penjajah membuat Indonesia terjajah. Media dilarang agar masyarakat jangan cerdas dan memberontak makanya cara apapun dilakukan untuk membuat rakyat bodoh. Tapi kini berbeda, kekuatan media justru bisa menjajah dan menguasai dunia meski tanpa senjata.
Merdeka jangan menyerah, terus protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan dan mengurangi kegiatan (5M).
Indonesia 76 tahun, harusnya sudah berabad-abad. Harusnya kemiskinan kriminalitas sudah tak ada. Hal menarik tentang Indonesia, ratusan tahun kekayaan alamnya dieksploitasi dan dikorupsi, tetap tidak bangkrut.
Banyak-banyaklah bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mempercayakan kemenangan kemerdekaan. Salinglah peduli, berbagi dan membantu sesama saudara setanah air tanpa melihat suku, dan agama sebagai wujud dari kemerdekaan.
Sedih memang mengetahui, di alam merdeka kebebasan individu untuk beribadah dan mencari nafkah dibatasi karena alasan pandemi. Tetap bersemangat mengabarkan berita baik, hak dan kewajiban warga negara Indonesia diatur dalam UUD Pasal 27-34.
Pandemi pasti berakhir, lawan pandemi dengan menjauhi penyakitnya bukan orangnya. Lapor media dengan berita bohong. Jadilah pahlawan media untuk mencerdaskan masyarakat dan bangsa Indonesia. Lawan pembohongan publik. (Nm)