Membaca Pancasila Dan Ideologi Lain Dari Perspektif Philosophisce Grondslag.

Membaca Pancasila Dan Ideologi Lain Dari Perspektif Philosophisce Grondslag.

Kabarsimalungun. Rabu (17/06/2020)

Disadur/Oleh : Brigjend Pol. Drs. Dwi Setiyadi

Sebuah Diskusi Kecil

Philosophische grondslag berasal dari bahasa Belanda yang artinya norma (lag) dasar (grands) yang bersifat filsafat (philosophische). Atau juga, weltanschauung dari bahasa Jerman artinya pandangan mendasar (anshcauung) dunia (welt). 
Nah, dua frasa dan diksi di atas baik philosopìsche grondslag maupun wetanshcauung, itu sama makna. Nyaris tak ada beda. Namun pada diskusi kali ini, yang digunakan hanya philosophische grondslag saja.

“Apa dasarnya Indonesia merdeka, atau apa philosophische grondslag dari Indonesia merdeka?” tanya Soekarno di sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945.
“Itulah fundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat — yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi,” jelas Soekarno. 

Nah, itulah prolog sekaligus perspektif dalam diskusi kecil di Sanyata Coffee.
ketika Pancasila diberhalakan sebagai agama maka tindakan itu cenderung lebay, genit, bahkan “nglunjak”. Kenapa? Agama itu ajaran (langit) dari Tuhannya, sedang Pancasila itu nilai-nilai yang digali dari bumi (nusantara) manusia. Tak dapat disamakan serta tidak untuk dipersamakan. Bisa kualat.

Akan tetapi, karena sesuatu hal, lalu Pancasila digeser menjadi ideologi, misalnya, maka secara hakiki Pancasila terdistorsi, atau istilahnya turun “derajat” lebih rendah dari (makna) philosophische grondslag itu sendiri. Secara fisik, sebenarnya masih pada batas wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pertimbangan bahwa pendistorsian tersebut ada maksud demi menolak (kontra) atas tumbuh suburnya komunisme dan kapitalisme (secara ideologi), contohnya, atau untuk memperkuat daya imun rakyat karena merebaknya “pandemi ideologi” dari luar. Boleh-boleh saja.

Pernah di masa lalu, peran philosophische grondslag digeser (diturunkan) secara sadar oleh rezim sebagai alat dan fungsi penolak ideologi (luar) asing. Nah, perubahan philosophische grondslag menjadi ideologi ini bersifat temporary atau sementara. Tidak selamanya.

Ketika timbul asumsi, “Bukan Pancasilais bila menghilangkan perbedaan dan menyeragamkan atas nama Pancasila, sikap itu justru mencerminkan anti-Panciasla.” Lho, Pancasila itu melihat perbedaan dan keberagaman sebagai rahmat dari Tuhan Yang Mahaesa, bukan ancaman.

Tampaknya, asumsi di atas kuat diduga selain mengada-ada, hoax, juga merupakan upaya untuk membuat “pintu masuk” atau istilah kerennya menggiring pada agenda tertentu agenda agar segenap warga mau menerima komunis dan kapitalis di Bumi Pertiwi atas nama perbedaan, keanekaragaman, kebhinekaan dll sesuai jiwa philosophische grondslag. Hal ini dinilai justru cara otak-atik mantuk, atau modal gotak gatik gatuk dll. Syah-syah saja sepanjang itu cuma wacana. Namanya juga usaha. 

Mengapa begitu? 

Begini, diibaratkan philosophische grondslag (Pancasila) itu ladang nan subur, maka tanaman komunis dan kapitalis adalah jenis tanaman yang tertolak dan ditolak. Jelas. Kenapa? Ada unsur Ketuhanan dan Keadilan Sosial dalam Pancasila yang niscaya akan mematikan secara perlahan tanaman komunis dan kapitalis di Bumi Pertiwi karena tidak chemistry dengan testur philosophische grondslag. 

Buktinya apa?

Komunisme tidak dapat tumbuh di ladang Pancasila karena ada Ketuhanan Yang Mahaesa (sila ke-1), juga kapitalisme tidak bisa berkembang karena ada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke-5). Atau dalam narasi lain, Pancasila lebih unggul ketimbang komunis karena ada sila ke-1, dan Pancasila lebih dahsyat daripada kapitalis sebab ada sila ke-5. Persoalan Pancasila kini seperti kurang membumi di Bumi Pertiwi, selain kerap hanya dijadikan wacana, juga cuma dijadikan bahan perdebatan semata, misalnya, manakala muncul klausal “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” ditawarkan ke publik dalam praktik bernegara, ini arahnya mau kemana? 

Ada beberapa poin penting yang perlu diwaspadai atas klausal “nyleneh” (Ketuhanan yang berkebudayaan) di atas, antara lain: 
Pertama, itu konsep ketuhanan yang ingin menempatkan nilai universalisme, semangat persaudaraan, sama rasa sama rata dst di posisi atas darioada nilai-nilai agama;
Kedua, pada konsep tersebut, agama tidak lagi menjadi nilai dominan dalam kehidupan, tetapi nilai kehidupan diarahkan pada pembangunan mental belaka; 

Ketiga, hukum agama baru akan diakui jika hukum adat dan budaya menerimanya. Maka muncul hipotesa, bahwa klausal ketuhanan yang berkebudayaan hanyalah sebuah upaya guna mendudukkan agar nilai agama di bawah tapak budaya, atau agama berada di bawah hukum adat. 

Demikianlah poin dan garis besar diskusi di Sanyata Coffee disajikan. Terima kasih. 

REDAKSI.

317 Pembaca
error: Content is protected !!
Exit mobile version