PERSEMAR-22 Lahirkan Polres Sempak dan Dewan Pecundang.

Kabarsimalungun.com. ||| Jakarta – Peristiwa Sebelas Maret 2022 atau disingkat PERSEMAR-22 tak pelak telah melahirkan atau setidaknya membuka tabir adanya oknum-oknum aparat polisi bermental sempak dan Dewan (pers) Pecundang. PERSEMAR-22 adalah terminologi untuk menandai sebuah momentum langka, unik, spesial, dan penuh makna, yang akan amat berpengaruh kepada peradaban bangsa Indonesia di masa depan. PERSEMAR-22 adalah istilah yang akan digunakan untuk mengingat peristiwa perobohan papan bunga di Markas Kepolisian Resort Lampung Timur oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, dan rekan-rekannya, pada hari Jumat, 11 Maret 2022 lalu.

PERSEMAR-22 kemudian berlanjut dengan upaya kriminalisasi terhadap Ketum PPWI itu, yang diawali dengan tindakan penangkapan Wilson Lalengke dan kawan-kawannya oleh segerombolan oknum polisi dari Polres Lampung Timur di halaman Mapolda Lampung sesaat dirinya mendampingi keluarga Muhammad Indra, wartawan Lampung Timur yang menjadi korban kesewenang-wenangan aparat Polres Lampung Timur, ke Bidpropam Polda Lampung. Proses kriminalisasi berlanjut dengan penetapan Wilson Lalengke dan dua rekannya, Edi Suryadi dan Sunarso, sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Polres Lampung Timur sejak 13 Maret 2022, sekitar pukul 03.00 wib.

Walaupun sempat terjadi dialog antara Wilson Lalengke dengan pihak Polres dan tokoh masyarakat setempat yang merasa dirugikan, namun proses hukum tetap dilanjutkan. Juga, pihak keluarga Wilson Lalengke dan Tim Penasehat Hukum PPWI telah melakukan upaya-upaya persuasif untuk mencapai kata damai, tapi semua usaha itu gagal. Lagi, langkah Kejaksaan Negeri Lampung Timur mempertemukan berbagai pihak yang terkait dengan persoalan PERSEMAR-22 itu dalam sebuah acara Restorative Justice (RJ) tidak membuahkan hasil.

Belakangan diketahui bahwa proses hukum yang mengikuti PERSEMAR-22 terhadap alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2022 itu ternyata merupakan hasil konspirasi buruk dan amat jahat dari beberapa pihak. Para pihak yang terlibat dalam kriminalisasi tokoh pers nasional itu antara lain Dewan Pers – yang telah bermutasi menjadi Dewan Pecundang (DP), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) melalui oknum mantan pengurus PWI Lampung, Dr. Eddy Rifai dan mantan Ketua PWI Lampung Timur, Azzohirry; dan beberapa organisasi pers underbow DP (baca: Dewan Pecundang), salah satunya Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

Sesuatu hal yang sangat disayangkan adalah bahwa kriminalisasi terhadap Ketum PPWI Wilson Lalengke justru dilakukan oleh DP (sekali lagi, baca: Dewan Pecundang) bersama kroninya dengan cara yang amat keji dan masuk dalam kategori perbuatan mungkar, melalui tangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya oknum-oknum di jajaran Polda Lampung berkolaborasi dengan Polres Lampung Timur. Sedemikian konyolnyakah institusi Polri yang dibiayai oleh rakyat dapat dengan mudah diperkuda oleh DP dan konco-konconya? Miris memang, namun faktanya demikian!!

Oleh karena itu, jangan heran jika keadilan dalam segala dimensinya semakin jauh dari jangkauan anak-anak bangsa ini karena hukum telah terkooptasi oleh orang-orang bermental pecundang yang bertemu – ibarat ruas dan buku – dengan para oknum aparat penegak hukum bermental sempak. Dewan Pecundang alias the looser telah menghinakan dirinya dengan memanfaatkan PERSEMAR-22 untuk balas dendam. Kongruen dengan DP itu, para oknum Kapolda dan Kapolres juga telah mencelupkan wajah institusinya ke dalam lumpur kehinaan dengan menghambakan diri kepada DP bersama kroni-kroni pencundangnya.

Alih-alih membangun argumentasi cerdas yang argumentatif, DP hanya mampu menunggu waktu untuk membalaskan sakit jiwanya terhadap para pengkritiknya melalui rancangan kriminalisasi menggunakan tangan kekuasaan secara sewenang-wenang. Demikian juga, para oknum polisi bermental sempak dari Polres Lampung Timur hanya mampu melakukan rekayasa kasus – yang kedodoran, ibarat burung unta bersembunyi dari kejaran singa dengan memasukan kepalanya saja ke dalam lobang dan mengira dia sudah tidak terlihat oleh pemangsanya – tanpa mampu menjawab kritikan Wilson Lalengke terkait fakta bahwa celana dalam alias sempak mereka dibeli dari uang rakyat sehingga mereka wajib melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut tanpa upaya memperbaiki keadaan dengan semestinya, kehancuran Indonesia semakin dekat. Soon, NKRI will be a history belaka. (TIM PPWI Media Group/Red)

304 Pembaca
error: Content is protected !!
Exit mobile version