Kabarsimalungun.com || RABAT – Advokat Umum Pengadilan Eropa, Tamara Ćapeta, menyampaikan kesimpulannya pada hari Kamis ini, 21 Maret 2024, bahwa pihaknya mengecam tindakan kelompok Polisario yang mengganggu kesepakatan kerja sama pertanian dan perikanan Maroko dengan Uni Eropa. Tamara juga meminta agar perjanjian antara Pemerintah Maroko dengan Uni Eropa dipertahankan dengan melakukan beberapa revisi dari perjanjian tersebut.
“Polisario tidak memiliki hak kewarganegaraan di Maroko maupun Sahara, dan program otonomi yang dijalankan Kerajaan Maroko di wilayah Sahara adalah yang utama dan terbaik.” Demikian antara lain pernyataan Tamara Capeta dalam berkas permohonan banding yang diprakarsai oleh Dewan Uni Eropa dan Komisi Eropa terhadap keputusan Pengadilan Tingkat Pertama yang membatalkan perjanjian pertanian dan perikanan Maroko – Uni Eropa dengan dalih bahwa perjanjian tersebut juga menyangkut Sahara.
Kesimpulan Advokat Umum tersebut merupakan suatu analisa yang diajukan kepada Mahkamah, untuk menjadi pertimbangan para hakim banding yang mengadili putusan gugatan Polisario tentang kesepakatan Maroko – Uni Eropa dimaksud. Selanjutnya, putusan akhir akan disampaikan oleh pengadilan pada paruh kedua tahun 2024.
Namun, kesimpulan-kesimpulan tersebut sangat banyak memberikan pencerahan bagi publik yang amat meresahkan bagi kelompok Polisario dan organisasi-organisasi yang mendukungnya. Jadi, argument dalam memori banding Tamara Capeta cukup membuat marah Polisario dan orang-orang yang berdiri di belakangnya.
Yang pertama adalah bahwa Advokat Umum Pengadilan Eropa merekomendasikan untuk membatalkan keputusan Pengadilan Tingkat Pertama dan menjaga validitas perjanjian pertanian antara Maroko dan UE. Oleh karena itu, legalitas dan keabsahan Perjanjian Pertanian dipastikan. harus dipertahankan sesuai ketentuannya saat ini. Advokat atau Penasihat Umum menegaskan penerapannya adalah pada produk dari Sahara Maroko.
Berkenaan dengan Perjanjian Perikanan, kesimpulan dari Penasihat Umum sejalan dengan keinginan Maroko untuk meninjau kembali dasar-dasar kemitraan di bidang ini, untuk menjadikannya kemitraan kualitatif generasi baru. Tampaknya tujuan bersama Maroko dan UE adalah bergerak menuju kerangka kontrak modern yang saling menguntungkan, terkait dengan pembangunan sosio-ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan pelestarian sumber daya perikanan.
Lebih jauh lagi, tuntutan Polisario mengenai apa yang disebut ‘keterwakilan’ dibantah oleh Jaksa Agung. Hal terakhir ini menyimpulkan bahwa “Polisario tidak diakui sebagai ‘wakil’ masyarakat Sahara Barat oleh PBB atau Uni Eropa” (paragraf 81). Ia mencatat bahwa Polisario ‘tidak pernah dipilih’ oleh masyarakat, dan ‘tidak mungkin untuk menentukan dengan pasti apakah Polisario mendapat dukungan mayoritas’ (paragraf 83). Ia juga menegaskan bahwa Polisario ‘tidak pernah diberikan status sebagai gerakan pembebasan nasional oleh PBB atau Uni Eropa dan negara-negara anggotanya’ (hal. 20). Dia menyimpulkan bahwa klaim ‘Polisario’ bahwa mereka akan menjadi ‘satu-satunya perwakilan’ Sahara tidak sejalan dengan posisi Uni Eropa.
Lebih lanjut, Penasihat Umum menegaskan bahwa Uni Eropa berhak membuat Perjanjian dengan Maroko yang mencakup provinsi-provinsi selatannya. Mengacu pada hukum internasional, ia menegaskan kembali bahwa Maroko adalah satu-satunya otoritas yang berwenang untuk membuat perjanjian dengan UE yang mencakup provinsi-provinsi selatan. Oleh karena itu, ‘Polisario’ tidak memiliki kualitas atau kapasitas untuk menyelesaikan perjanjian.
Terakhir, Advokat Umum ini menolak permintaan asosiasi pro-Polisario untuk melarang impor produk pertanian dari provinsi selatan. Kesimpulan ini membuka jalan bagi kelanjutan perdagangan produk pertanian. Dengan demikian, Kesimpulan Advokat Umum kontras dengan amalgamasi (kesatuan Polisario dengan Sahara – red) yang dipertahankan oleh Polisario dan para sponsornya, yang berupaya untuk menutupi kegagalan berturut-turut mereka di berbagai tingkatan.
Kesimpulan Jaksa Agung juga menggarisbawahi keunggulan Inisiatif Otonomi Maroko. Dalam hal ini dia menggarisbawahi bahwa “sejak tahun 2018, dukungan terhadap Rencana Otonomi yang diajukan oleh Kerajaan Maroko pada tahun 2007 tampaknya semakin meningkat. Demikian pula, kosakata yang digunakan dalam resolusi Dewan Keamanan tampaknya telah berkembang.
Harus diingat bahwa prosedur di hadapan Pengadilan Uni Eropa tetap bersifat Eropa. Maroko bukan merupakan pihak dalam prosedur ini, hal ini terutama menyangkut Dewan UE. Dewan ini didukung oleh Komisi Eropa dan beberapa negara anggota, yang mempertahankan perjanjian dengan Maroko. (tim-red)
Sumber : DPN PPWI Jakarta