Jakarta – Universitas Nusantara Jakarta mengundang para pakar, praktisi dan pemerhati pendidikan dalam sebuah acara diskusi “Kritik dan Apresiasi RUU Sisdiknas 2022” bertempat di kantor Yayasan Membangun Nusantara kita (YMNK), Senin, 28 Februari 2022. Hal tersebut disampaikan Yudhie Haryono, PhD, salah seorang peneliti di Nusantara Center, melalui pernyataan pers-nya kepada berbagai media di tanah air.
“Kami menyatukan sikap untuk ikut urun rembug bagi kebaikan UU Sisdiknas. Tentu demi kehebatan kita dalam menghasilkan arsitektur kependidikan dan kepengajaran kita semua,” ungkap Yudhie.
Hadir dalam acara tersebut, tambah Yudhie, antara lain Dr. Bambang Pharma (Ketua Tim Perumus Pendidikan di NU Circle), Dr. Susetya Herawati (Dosen Pascasarjana Ilmu Administrasi Unkris), Irawan Djoko Nugroho (Aktifis Yayasan Suluh Nuswantoro), Astika Wahyuaji, M.Psi (YMNK), dan Ir. Abrianto, MM (Dosen Universitas Mercu Buana).
Yudhie Haryono mewakili para pembicara mengusulkan tiga hal, yakni 1) semestinya RUU ini bernama Sisbuddiknas atau Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan kita tidak terlepas dari kebudayaan nasional. 2) Sebaiknya RUU Sisdiknas ini konsen dalam pembenahan tata kelola pendidikan dan pengajaran, karena hal tersebut menjadi salah satu kunci dalam perbaikan pembangunan kebudayaan dan pendidikan nasional.
3) Dalam tata kelola ini, kurikulum inti hendaknya disederhanakan menjadi Trimatra Pendidikan Dasar dan Menengah (Kebangsaan-Etika-Logika). Tentu saja, realisasi trimatra pendidikan bukan sebatas tugas pemerintah, namun partisipasi aktif masyarakat. Mereka harus dilibatkan secara terus menerus dan sistematis. Itulah tugas kita semua sebagai warganegara. Ini juga membuktikan bahwa kewarganegaraan perlu lebih ditonjolkan dibanding kewargaan.
Sementara itu, menurut Bambang Pharma, “naskah akademik maupun draft RUU Sisdiknas yang baru masih belum menyentuh akar masalah dan malah seolah menciptakan jarak yang jauh dengan harapan rakyat, yakni cita-cita Indonesia yang Raya. Sudah seharusnya negara hadir dalam setiap sendi pendidikan, karena tugasnya sebagai pelayan dan tutor rakyatnya.”
Pada kesempatan yang sama, Irawan mengatakan bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya dibebankan kepada rakyat. “Jadi jika tanggung jawab pendidikan diserahkan sepenuhnya ke masyarakat, maka bagaimana dengan implementasi klausul mencerdaskan bangsa dalam pembukaan UUD 1945 yang notabene itu salah satu tugas negara,” ujar Irawan.
Sedangkan Susetya Herawati mengatakan, “Profil Pelajar Pancasila sebenarnya bukan tujuan akhir seperti dalam RUU tersebut. Sebab tujuan pendidikan nasional adalah mendidik anak Indonesia menjadi warga negara yang paripurna, dan ini sejalan dengan visi pemerintah saat ini yaitu SDM unggul. Profil Pelajar Pancasila sendiri masih belum lengkap, jika dulu agama sempat hilang dari profil ini dan setelah diprotes keras baru dimunculkan maka setelah koreksi pun nilai kebangsaan dan persatuan belum nampak jelas. Alangkah baiknya jika dilakukan penyisiran setiap sila demi sila sehingga tidak ada yang tertinggal. Dari situ akan didapat profil pelajar Pancasila yang utuh.”
World Bank (WB) pada awal tahun 2019 menerbitkan review yang merujuk ke hasil PISA 2015 yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak siap menghadapi era Revolusi Industri (RI) 4.0 bahkan 2.0. Terbukti, hasil uji Indonesia National Assessment Program (INAP) yang kemudian disebut Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menguatkan kecemasan berbagai pihak karena 78% siswa SD kelas 4 memiliki kompetensi Matematika, Sains dan Membaca yang buruk.
Hasil PISA 2018 yang dirilis awal Des 2019 semakin menguatkan kecemasan itu. Ketrampilan membaca siswa Indonesia di usia 15 tahun kembali ke-18 tahun yang lalu dan ketrampilan matematikapun menurun. Meski ketrampilan sains sedikit naik, tetapi rerata total menurun dan tak satupun yang mencapai target RPJMN 2019-2024.
Dengan kompetensi dasar nalar (matematika, sains dan membaca) seperti itu, kita skeptis bahwa Indonesia akan mampu menjemput bonus demografi dan sangat sulit menggapai PDB peringkat 4 sedunia pada tahun 2050.
Dengan data ini, kemungkinan manusia Indonesia hanya akan menjadi buruh di negeri sendiri. Mengapa? Sebab, pada saat kondisi nalar (logic) buruk, ternyata tak bisa dipungkiri pula bahwa apresiasi bangsa Indonesia terhadap budaya dan kearifan lokal Nusantara semakin menurun dan cenderung abai.
Permainan, lagu dan bahasa tradisi menghilang lebih cepat daripada upaya penyelamatan dan serbuan budaya dari luar. Selain itu, permusuhan budaya tradisi nusantara yang dianggap tak cocok dengan keyakinan agama juga mempercepat punahnya identitas keIndonesiaan kita.
Maka, selain upaya memperbaiki nalar membaca, matematika dan sains, upaya mendorong apresiasi seni budaya dan kriya harus pula diperhatikan, termasuk apresiasi terhadap etika umum.
Sungguh tepat anjuran Howard Gardner (5 Minds for The Future, 2011) agar warga sebuah bangsa wajib memiliki nalar agar menumbuhkembangkan “discipline mind” dan seterusnya akan berlanjut ke “creative dan synthetic mind” lalu menjadi “emphatic mind” yang akan menumbuhkan dasar-dasar karakter kemanusiaan (humanisme) sejak dini. Ketika keempat minds ini sudah mendarah daging di usia muda, maka “ethical mind” akan bertumbuh di jenjang SMA/MA/SMK dan Perguruan Tinggi.
Pada titik itulah kita harus mendorong Kemdikbud fokus bekerja di jenjang SD/MI dan mendorong Presiden untuk membuat Inpres SD/MI yang mengintruksikan semua jajaran agar “mengeroyok” jenjang SD/MI dengan acuan 8 (delapan) SNP (Standar Nasional Pendidikan) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SI (Standar Isi) dan SP (Standar Proses) serta SE (Standar Evaluasi) SD/MI dikoreksi agar menopang pencapaian tujuan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2050.
Standar Mutu Guru SD/MI pun wajib dikoreksi, sejak “Pre Service” hingga “In Service.” Fokuskan “Pre Service” pada mutu Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan “In Service” pada pelatihan yang tepat guna langsung bisa diterapkan di kelas. Dengan Inpres SD/MI ini semua pemangku kepentingan akan dihela bergotong-royong memperbaiki mutu kompetensi murid SD/MI.
Bertepatan dengan keinginan menyempurnakan UU Sisdiknas ini, mari kita duduk bersama solusikan masalah pendidikan nasional dengan komprehensif berbasis Pancasila dan Konstitusi karena masa depan Indonesia tergantung di sektor ini. Singkatnya, jangan main-main dengan pendidikan kita! (*/Red)
sumber : DPN PPWI Jakarta