KABARSIMALUNGUN.COM, SIMALUNGUN – Sumatera Utara yang dikenal dengan motto “Habonaron do Bona” tidak dikenal istilah wilayah tanah adat. Hal tersebut terungkap dalam rapat pengurus harian Dewan Pimpinan Pusat Partuha Maujana Simalungun (DPP PMS) yang dilaksanakan pada hari Sabtu (7/8) bertempat di Siantar Hotel, Pematangsiantar.
Mengingat adanya beberapa rumor dan isu beredar tentang adanya komunitas yang mengklaim bahwa di Simalungun ada tanah ulayat.
Dr. Sarmedi Purba selaku Ketua Umum DPP Partuha Maujana Simalungun dengan keras menyangkal claim komunitas ini. Dengan wajah serius, Dr. Sarmedi mengatakan claim ini mengada-ada dan tidak didukung fakta sejarah.
“Simalungun tidak mengenal wilayah tanah adat sebab semua tanah adalah milik raja. Pejabat Partuanon di Simalungun harus memiliki garis keturunan Raja/Ningrat. Tidak pernah ada Partuanon bermarga Ambarita. Marga Ambarita dan marga Siallagan merupakan pendatang di bumi Simalungun,” jelasnya
Dr. Corry salah seorang ketua DPP PMS yang juga rektor Universitas Simalungun pun menguatkan pernyataan Dr. Sarmedi Purba itu. Universitas Simalungun telah mengadakan seminar tentang wilayah atau tanah adat di Simalungun. Para pembicara di Seminar merupakan akademisi dan pakar dari berbagai bidang disiplin ilmu termasuk ahli sejarah. Hasil seminar menunjukkan bahwa Simalungun tidak mengenal wilayah tanah adat.
Dr. Sarmedi menegaskan bahwa PMS sangat mendukung upaya pelestarian lingkungan dan akan mengadakan perlawanan apabila terjadi pengrusakan lingkungan. Namun tidak dapat dibenarkan jika ada kelompok atau komunitas masyarakat melakukan manipulasi sejarah dengan mengaku sebagai partuanon dan pemilik wilayah adat.
DPP PMS akan meminta dukungan pewaris 7 kerajaan Simalungun untuk memperkuat pendapat PMS dalam waktu dekat.
Untuk lebih menegaskan pernyataan ini, rapat DPP PMS ini memutuskan bahwa Pengurus Harian sesegera mungkin melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo dan Ketua DPR RI untuk tidak menerima pihak-pihak yang melakukan manipulasi sejarah dengan mengklaim dirinya memiliki tanah wilayah adat di Simalungun.
Komunitas pertama menamakan diri Keturunan Opung Mamontang Laut bermarga Ambarita mengklaim memiliki wilayah tanah adat seluas 1.948 HA yang terletak di kampung Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Komunitas kedua bernama Keturunan opung Umbak Siallagan yang mengklaim memiliki wilayah tanah adat seluas 851 HA yang terletak di kampung Utte Anggir, Dolok Parmonangan, kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun.
Komunitas yang pertama mengaku bahwa nenek moyangnya yaitu Opung Mamontang Laut Ambarita yang membuka perkampungan di Sihaporas. Opung Mamontang Laut berasal dari kampung Lumban Pea Ambarita, Kecamatan Simanindo di pulau Samosir. Sekitar tahun 1800, Opung Mangontang merantau ke daerah Sihaporas di wilayah Simalungun untuk merintis pekampungan (mamukkah huta).
Saat itu daerah Sihaporas berada dibawah kekuasaan Raja Siantar bermarga Damanik. Saat ini mereka merupakan generasi ke 11. Selanjutnya komunitas ini mengklaim bahwa Sihaporas merupakan sebuah wilayah partuanon dan opung Mamontang merupakan Tuan Sihaporas yang pertama.
Sedangkan komunitas kedua menyebut bahwa nenek moyangnya opung Umbak Siallagan berasal dari huta Siallagan, Ambarita kecamatan Simanindo di pulau Samosir. Opung Umbak Siallagan meninggalkan kampung halamannya sekitar tahun 1700 dan menyeberangi danau Toba merantau ke wilayah tanah Simalungun.
Selanjutnya Opung ini berdiam di huta Utte Anggir dan membuka lahan perladangan. Saat itu daerah Utte Anggir berada di bawah kekuasaan raja Tanah Jawa bermarga Sinaga. Di kemudian hari, keturunan oppung Umbak Siallagan mengklaim bahwa daerah Utte Anggir merupakan wilayah tanah adat milik marga Siallagan. (AL)