Kisah di Balik Falsafah Bhayangkara

Kisah di Balik Falsafah Bhayangkara. 01 Juli 2020.

KEBAKARAN hebat melanda Mabes Polri di Jalan Trunojoyo pada 1995. Di tengah puing-puing, Noegroho Djajoesman, sekretaris Direktorat Samapta Polri, berhasil menyelamatkan benda berharga berbentuk panji-panji: Pataka Polri. Penemuan pusaka itu diceritakan kepada ayahnya, Hendra Djajoesman. Sang ayah tahu persis sejarah Pataka Polri karena pernah menjadi ajudan Soekanto.

“Tiang Pataka berasal dari pohon yang terdapat di Pulau Karimun Jawa, yang secara khusus diambil Soekanto dengan cara tirakatan,” kata Hendra dalam biografi Nugroho Djajoesman, Meniti Gelombang Reformasi. Menurut Hendra, Pataka Polri dibuat khusus oleh Soekanto. Benderanya dijahit oleh Nyonya Soekanto yang bernama Lena Mokoginta.
Setengah abad sebelumnya, tepatnya 1 Juli 1955, Pataka itu diserahkan secara simbolis oleh Presiden Sukarno kepada Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Hari itu, di Lapangan Banteng, adalah perayaan ulang tahun kepolisian sekaligus peresmian gedung Mabes Polri.

Dalam Pataka, diusung bendera lambang Polri yang bertuliskan Rastra Sewakottama yang berarti “abdi utama dari nusa dan bangsa”. Sebutan itu adalah Brata pertama dari Tri Brata. Tri Brata sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “Tiga Jalan”. Nagara Janottama adalah Brata kedua, artinya, “warga negara teladan dari negara”.

Dan Yana Anucasana Dharma adalah Brata ketiga yang berarti, “wajib menjaga ketertiban rakyat”. Tri Barata inilah yang diucapkan Soekanto ketika menerima Pataka Polri dari Presiden sebagai pedoman hidup kepolisian.

Disebutkan dalam biografi Soekanto Jendral Polisi R.S Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI Peletak dasar Kepolisian Nasional yang Profesional dan Modern yang disusun Awaloedin Djamin dan Ambar Wulan, diperlukan panitia khusus untuk merancang Pataka Polri. Soekanto menginstuksikan pembuatan lambang kepolisian melalui Surat Perintah No. 4/XVI/1955 tanggal 2 Maret 1955. Panitia melibatkan ahli heraldik (ahli lambang-lambang) dan Dewan Guru Besar PTIK. Diantaranya ialah dua pakar hukum terkemuka Djokosoetono dan Prijono yang menggagas Tri Barata.

Panji kepolisian itu terbuat dari kain beludru hitam berukuran 90×135 cm dan terlukis sebuah perisai berwarna kuning emas. Warna hitam melambangkan ketenangan nan abadi sedangkan kuning emas melambangkan kebesaran jiwa. Perisai menandakan bahwa korps kepolisian adalah pelindung rakyat. Di dalam perisai, terlukis sebuah obor bersudut 8 dan bersinar 17 dan tiang pada kepala bersaf 4 dan pada kakinya bersaf 5. Ini melambangkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

“3 Bintang di atas logo bermakna Tri Brata adalah pedoman hidup Polri. Sedangkan warna hitam dan kuning adalah warna legendaris Polri,” tulis polri.go.id, laman resmi Polri.

Yang menarik, pada kanan kiri perisai dilingkari setangkai bunga kapas yang dilukiskan berdaun 29 lembar dan berbunga 9 buah serta tangkai padi berbaris 45 biji. Hal ini merujuk pada tanggal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama, 29 September 1945.

Ketika panitia menyerahkan rancangan Pataka, Soekanto menyetujuinya. Pada saat pembuatan kayu untuk tiang panji, Soekanto – bersama pengawasan DPKN- ikut menungguinya dari pukul 7 malam hingga pukul 4 pagi di sebuah rumah di Jalan Melawai.
Hingga kini, Pataka Polri merupakan lambang kesatuan kepolisian negara Indonesia.(*)

“Seluruh pengurus Media KabarSimalungun mengucapkan Selamat Hari Bhayangkara Ke-74. Tanggal 01 Juli 2020, Semoga Kepolisian Semangkin dicintai masyarakat”.

201 Pembaca
error: Content is protected !!