Opini  

KLB Sibolangit Mengancam Posisi Presiden RI Ir.Joko Widodo

Pengamat Hukum Politik : Suta Widhya, SH

Kabarsimalungun.com

Meski diklaim oleh para pemberontak ada sebanyak 34 mantan Ketua DPC Partai Demokrat yang tersebar di seluruh Indonesia dikabarkan membelot ke kubu Moeldoko, namun ternyata gagal menumbangkan kursi Ketum DPP Partai Demokrat Agus Harimukti Yudhoyono.

Sebelum mendatangi kantor Kemenkumham, dalam hal ini untuk menemui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat AHY orasi di atas mimbar di depan Kantor DPP, Senin (8/3) pagi.

Ketum DPP Partai Demokrat AHY membawa bukti-bukti yang mendukung dugaan mereka bahwa KLB Partai Demokrat pada Jumat 5 Maret 2021 adalah tidak sah alias abal-abal.

Menurut Pengamat Hukum Politik Suta Widhya SH ada sepuluh indikasi yang memungkinkan KLB Partai Demokrat di Hotel The Hill, Deli Serdang, Sumatra Utara disebut abal-abal :

Pertama, ternyata hingga tulisan ini dimuat belum ada bukti atau tanda-tanda bahwa Kubu Moeldoko datang untuk mendaftar ke kantor Kemenkumham.

Kedua, dengan sigap AHY beserta perwakilan 34 DPD datang ke Kantor Komisi Pemilihan Umum. Mereka menerima Audiensi AHY. Di sana KPU menyatakan dengan tegas bahwa pada Prinsipnya KPU menyampaikan rasa prihatin atas apa yang terjadi di tubuh Partai Demokrat.

Ketiga, pengakuan Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Herman Khaeron menyampaikan bahwa Partai Demokrat telah melakukan deteksi dini sebelum dilakukan KLB Partai Demokrat secara ilegal di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Adapun deteksi itu terkait berbagai informasi, mulai dari tiket yang terdaftar hingga jumlah kamar penginapan jauh hari sebelumnya.

Kelima, sebanyak 34 ketua DPC Partai Demokrat itu dipecat, dan sudah ditunjuk PLT untuk menggantikan mereka karena mendukung KLB Sibolangit. Karena sudah dilakukan PLT oleh DPP Partai Demokrat terhadap jabatannya, dengan demikian suara resmi itu sebenarnya tidak ada.

Keenam, bila Jokowi bersikap diam atas tindak tanduk Moeldoko niscaya akan menghancurkan Kredibiltas Politik Jokowi. Yang bersangkutan bisa diduga ikut terlibat atau berperan serta meski itu bersikap pasif.

Ketujuh, menurut Herman Khaeron nama-nama ketua DPC yang di-PLT-kan tersebut berasal dari beberapa daerah yang telah dicabut haknya menjadi ketua DPC. Sehingga otomatis tidak punya hak suara. Mereka berasal dari wilayah Sulawesi, Kalimantan, Jawa Tengah, Jawa Timur, intinya tidak signifikan. Cuman berapa persen saja. Mereka semua, sebelum tanggal 4 sudah di PLT-kan alias dibebas-tugaskan. Jadi, keabsahan peserta nyaris diduga massa bayaran?

Kedelapan, ada Keributan janji-janji uang sekira Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) yang dijanjikan bakal diterima oleh utusan yang hadir. Pada kenyataan mereka ada yang hanya menerima Rp. 5.000.000 sampai Rp. 10.000.000 saja. Gigit jari deh.

Kesembilan, Menkopolhukam dan Menteri Hukum dan HAM tidak merespon hasil KLB yang memutuskan mengangkat Moeldoko sebagai figur baru Ketua Umum Partai Demokrat. Keduanya serba salah, kuatir keliru ucap.

Kesepuluh, diamnya Presiden RI Ir.Joko Widodo terhadap fenomena perlawanan AHY dimana menimbulkan simpati mayarakat kepada AHY dan bisa mengancam Kredibiltas dirinya. Simpati yang luas terlihat dari berita – berita yang muncul di media cetak dan elektronik hingga komentar netizen yang menyesalkan terjadinya KLB.

Masyarakat DKI Jakarta masih ingat dengan peristiwa Kudatuli, Kerusuhan dua puluh tujuh Juli 1996 dimana terjadi perebutan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia pada Sabtu (27/7/1996) dinihari. Daya ingat masyarakat tentu tidak pendek – pendek amat untuk mengingat semua itu. Apakah peristiwa itu akan terulang kembali?

Saat ini memang masih bulan Maret, semoga tidak sampai Juli 2021 kasus ini kempes dengan sendirinya. Keadilan tidak selalu milik orang yang kuat, tapi keadilan juga untuk semua yang benar dan yang berhak. Jokowi serba salah, mingkem dirasanin, bicara dianggap retorika.

Para buzzer sibuk berlomba untuk berkomentar demi mengalihkan perhatian masyarakat agar kestabilan kepemimpinan kedua Jokowi tidak terganggu. Gambaran dari surat terbuka pada dirinya dari anggota masyarakat seperti Ruslan Buton dan Sugeng Waras misalnya yang tidak puas satu per satu mulai memperlihatkan kenyataan. (*)

109 Pembaca
error: Content is protected !!