Obituari Drs. H. Ali Ahmad S.H. Pria Humoor itu dalam Sepi telah Pergi

KabarSimalungun.com, Pria ini sebelum 1 September 2019 saya sama sekali tidak pernah kenal. Saya kemudian berinteraksi dengan dia karena adik H.Sofwan, S.H.,M.Hum merekomendasikan laki-laki ini sebagai salah satu narasumber yang layak mengisi buku Muma TGH Abd. Ghany Masjkur yang kemudian diluncurkan di Bima pada akhir Desember 2019.

Hari sudah malam ketika saya dan adik Sofwan, dan Dae Jhoni tiba di kediamannya setelah terlebih dahulu mewawancarai Dr.(s).H.Arsyad Gani, M.Si di kediamannya. Pada awal-awal wawancara, komunikasi kami terkesan kaku. Tetapi saya selalu mampu mengubah suasana wawancara menjadi cair dan lancar dengan mengomentari penjelasannya yang rada jenaka dan humor. Kiat inilah yang membuat wawancara dengan beberapa narasumber berlangsung lama dan memakan waktu berjam-jam. Apalagi yang diwawancarai termasuk orang yang tukang cakap atau juru cerita. Yang tentu saja tidak ketinggalan, kaya pengalamannya.

Pria yang satu ini sebenarnya boleh dibilang sebagai salah seorang dari puluhan “anak angkat” Muma ketika menuntut ilmu di Kota Bima. Ali Ahmad, yang kuliah di Fakultas Ilmu Tarbiyah (FIT), selain temannya yang lain kuliah di Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah (FIAD) dan Ilmu Hukum di Perguruan Muhammadiyah, termasuk salah seorang di antara puluhan laki-laki remaja yang tinggal di rumah yang difasilitasi oleh Muma di dekat atau di sebelah timur Istana Bima (Asi Mbojo). Tepatnya di dekat gedung Taman Kanak-Kanak (TK). Waktu itu, Dae Jhoni, panggilan akrab Muhammad Syauqie, masih kecil. Jika tidak salah masih duduk di SMP kemudian masuk SMA.

Sebagai aktivis Muhammadiyah waktu itu, Muma menyediakan dua rumah, termasuk rumah yang ditempatinya untuk menampung yang perempuan. Di dekat rumah tersebut, juga ada tempat praktik/rumah dr.P. Hasan, pria bertubuh gemuk putih, tempat penulis juga berobat pada tahun-tahun terakhir belajar di SMP Tangga.
Di rumah kosong tersebut terdapat sedikitnya 20 atau 21 kamar yang ditempati dengan gratis oleh para penghuninya yang rata-rata aktivis pelajar Muhammadiyah. Ada juga rumah di Kampung Salama, di sebelah timur areal kuburan, tempat Muma tinggal sebelum pindah ke Jl. Sultan Kaharuddin, kediamannya sekarang. Rumah yang di Salama ini ditempati oleh pelajar dan mahasiswa perempuan.

Di rumah kosong, tempat Ali Ahmad “mondok”, juga ada nama M.Darwis (alm.) asal Rade Sila yang dituakan, dipercayakan sebagai “kepala pondokan”. Dia ini cocok mengurus makan minum warga pondokan yang semuanya laki-laki yang dikenal berwatak “jantan”. Penghuni lain, Syafruddin Sidin, Azikin (alm.), Ahmad Abidin, Muhammad dari Tangga, Abdullah Karim, Mahmud Husen dari Ranggo yang kemudian menjadi guru dari dua bersaudara Dr. Hamidsyukrie ZM, M.Si dan Dr.Hamdan Zoelva, S.H., M.H. di Madrasah Aliyah Negeri Bima.

Ada juga Burhanuddin yang kemudian menjadi tentara serta Bunyamin. Selama “kos” gratis itu, makanannya dipasok dari kediaman Muma yang diantar oleh penghuni atau mahasiswa perempuan. Itu terjadi tiga kali sehari. Para penghuni pria tidak ada yang memasak sendiri. Nasi itu dikirim dari rumah induk (kediaman Muma) yang bertetangga dengan rumah dinas Kepala Kejaksaan Negeri Bima. Semua mahasiswa yang tinggal bersama Ali tidak ada yang membawa bekal dari kampung.

“Jadi kita makan bagaikan seperti keli dan keka. Itu terjadi bertahun-tahun,” kata Ali Ahmad, mengibaratkan mereka diberi makan layaknya majikan memberi makan pada burung nuri dan kakatua. Itu tidak saja buat pelajar mahasiswa pria, tetapi juga yang perempuan.

Di antara yang mengantar makanan itu, kenang Ali Ahmad kepada saya ketika ditemui di kediamannya, 1 September 2019 malam, terdapat nama Nurhayati yang akrab disapa Aya, yang belajar di Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah (FIAD) Muhammadiyah. Ada juga Salma, Dama Indah, Ramlah, dan banyak lagi keluarga dari Parado.

Meskipun tinggal sesama bujang dan tidak didampingi “ayah angkat”, namun Ali Ahmad dan kawan-kawan tidak bisa main-main. Seluruh penghuni harus menunaikan salat dan tidak boleh melalaikan waktu dengan sia-sia. Apalagi bermain kartu domino misalnya.

“Beliau akan datang mengintip tanpa diketahui,” kisah Ali Ahmad kepada saya yang juga bersama putra Muma DaE Jhoni dan adik H.Sofwan, S.H., M.Hum dalam perbincangan hingga dini hari di Mataram tersebut.

Muma seperti dikemukakan kepada saya tahun 2015 di Mataram memang tanpa diketahui kerap melakukan pengintaian pada malam hari ke rumah para mahasiswa ini tinggal. Kadang-kadang beliau muncul secara mendadak. Karena sulit dideteksi kedatangannya, Ali dan kawan-kawan selalu dalam situasi dan kondisi siaga satu setiap saat.

Kadang-kadang beliau muncul setelah Isya, sering juga pada subuh hari. Pernah juga sore hari, sehingga penghuni waspada dari waktu ke waktu. Praktik pengintaian yang dilakukan Muma ini membuat Ali dan kawan-kawan tidak berani macam-macam. Begitu tiba waktu ibadah harus menunaikan salat, ketika jam mengaji, harus mengaji. Begitu pun jika ada waktu untuk keluar, ya kadang-kadang pergi ke luar pondokan.

“Ya, aktivis angkatan Orde Baru waktu itu,” sebut Ali yang ketika itu termasuk salah seorang pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah.

Pada hari Ahad, tidak ada kewajiban di pondokan, termasuk di rumah Muma sendiri. Paling-paling hanya ngobrol-ngobrol sesama aktivis. Sebab yang tinggal di pondokan Ali itu semua aktivis. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak berani tinggal di rumahnya sendiri karena diuber-uber oleh aparat Orde Baru. Akhirnya mereka mencari tempat bernaung dan berteduh yang aman. Itu terjadi sekitar tahun 1975 s.d. 1978, bahkan sampai 1980. Ini adalah masa “galak-galaknya” Orde Baru terhadap aktivitas mahasiswa pascapecahnya Malapetaka Januari (Malari) 15 Januari 1974.

Ada pengajian khusus yang diberikan kepada para mahasiswa, khususnya buat para aktivis. Ali dkk memahami bahwa kegiatan mereka dimatai-matai oleh para cesunguk rezim yang berkuasa, sehingga mereka memutuskan tetap tinggal di pondokan. Ini keluarbiasaan Muma bisa menampung para aktivis yang gelisah dan resah jika bertempat tinggal di rumahnya masing-masing.

Kadang-kadang karena terlambat pulang kuliah, mahasiswa perempuan juga sering terlambat mengantarkan makanan. Jika terjadi kasus seperti ini, para penghuni keluar mencari makan sehingga ada cerita teman-teman Ali mengambil kelapa milik orang untuk disantap.

Ada juga sekali waktu, mereka mengambil sarang madu pohon yang disebut niwa di lubang batang pohon besar nan rindang di depan pondokan. Ketika hendak mengambil madu tersebut, badan dibungkus dengan kain agar tidak disengat. Beberapa teman menunggu di bawah.
“Biasa setelah saya kenyang baru saya berikan kepada mereka yang menunggu di bawah,” kenang Ali Ahmad sembari terkekeh-kekeh dalam wawancara yang berlangsung di gazebo yang sejuk diterpa angin malam di depan rumahnya yang luas.
Dia harus merogoh sarang lebah di lubang pohon besar itu. Itu dilakukan pada siang hari. Kalau tidak, operasi mengambil madu ini dilakukan usai salat subuh atau usai salat magrib. Sarang lebah madu mereka ketahui ada karena sering saja melihat induknya beterbangan saat duduk santai di depan pondokan. Jarak pondokan dengan pohon besar itu juga tidak terlalu jauh. Berkisar 6 m saja.

Merasa malu juga dikasih makan tiga kali sehari, kata Ali Ahmad, dia dan beberapa temannya berusaha mencari pekerjaan. Perasaan malu ini bukan dari pihak Muma dan DaE Sei, melainkan muncul dari dalam diri para penghuni pondokan sendiri. Akhirnya, Ahmad Abidin mengajar di SD Muhammadiyah. Mahmud Husen mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN), Itu sebagai tenaga honor semuanya. Ali Ahmad sendiri mengajar di SMP Muhammadiyah. Mereka memperoleh pekerjaan itu setelah “nguping” kiri kanan mencari tahu kalau-kalau terbuka lowongan pekerjaan.

Ada namamya Hanafi, dia pergi menghadap Pak Madjid Amyn (almarhum) yang ketika itu mengepalai SMP Muhammadiyah. Madjid Amyn, adik M.Djafar Amyn, termasuk tokoh Muhammadiyah Bima.

Subuh-subuh, Ali Ahmad yang lepasan PGA itu, sudah berkemas.
“Assalam alaikum ww.,” seru Ali ketika bertemu dengan Madjid Amyn.
“Ada kabar?,” Madjid Amyn yang sudah kenal dengan Ali yang aktivis Muhammadiyah, balik bertanya.
“Ada sedikit, Pak. Permisi, Pak, mungkin ada lowongan bagi kami dapat mengabdi sebagai guru di SMP Muhammadiyah,” ungkap Ali Ahmad dengan suara pelan ketika menghadap Pak Madjid Amyn disertai muka permohonan (penuh harap).
“Oh.. ada. Ada. Guru Olahraga dan Guru Kesenian. Mau, bisa? Bisa olahraga,” jawab Madjid Amin.
“Bisa!,” jawab Ali yang mungkin maksudnya agar bisa masuk saja dulu menjadi salah seorang tenaga pengajar di SMP Muhammadiyah. Urusan bisa melakoni pekerjaan sebagai Guru Olahraga dan Guru Kesenian itu persoalan belakang. Yang penting mampu memperlihatkan kesiapan dan pura-pura punya “kompetensi” dulu.
“Besok. Besok ada jadwal di kelas 3 Olahraga jam sekian, Kesenian jam sekian,” Madjid Amyn memberitahu yang membuat hati Ali berbunga-bunga. Andaikan bisa, ingin rasanya dia meloncat-loncat gembira saat itu.
Mengetahui ada lowongan mengajar dua mata pelajaran yang lebih banyak menitikberatkan pada praktik itu, Ali Ahmad kemudian sibuk mencari dan meminjam seragam olahraga (training spack).

Mendengar penjelasan Madjid Amyn, Ali Ahmad berusaha menyanggupi. Sepulang dari bertemu dengan Madjid Amyn, dia berdiskusi dengan kawan-kawan pondokan merespons “tantangan” Pak Madjid Amyn. Ali Ahmad menjelaskan informasi yang diperolehnya kepada teman se-pondokan, Pekerjaan berikutnya adalah mencari pluit atau sempritan yang akan melengkapi dirinya sebagai Guru Olahraga. Kebetulan M.Saud Yasin (alm.) yang mengajar olahraga di PGAN 6 Tahun punya pluit. Mantan Guru SMP Negeri di Mataram tersebut bukan orang asing bagi Ali. Dia adalah gurunya.

“Pak Guru, mohon dipinjamkan pluitnya dulu,” Ali kembali dengan muka permohonan mengungkapkan hajatnya meminjam pluit saat bertemu dengan mantan gurunya itu suatu hari.
“Untuk apa?,” Pak Saud balik bertanya.
“Pinjam dulu sebentar, mau dipakai,” kata Ali yang segera saja sempritan itu diberikan Pak Saud Yasin,.

Usai memperoleh pluit, Ali pun menjalani tes perdana menjadi Guru Olahraga setelah menerima pemberitahuan tentang jadwal mengajar di Kelas 3 seperti yang diinformasikan Pak Madjid Amyn sebelumnya.

Mulailah Ali Ahmad beraksi sebagai guru olahraga. Kebetulan cabang olahraga yang diajarkan pertama adalah basket. Layaknya Guru Olahraga yang sudah “profesional” dia mulai dengan warming up (pemanasan), kegiatan awal yang memang selalu dilakukan oleh setiap Guru Olahraga sebelum memulai masuk ke inti pembelajaran. Apa yang dilakonkannya itu merupakan praktik pelajaran olahraga yang pernah dia peroleh sebelumnya. Apalagi mata pelajaran ini lebih fokus kepada praktiknya. Jika pun ada teori selalu diberikan di lapangan.

Kebetulan pula di PGAN (kemudian dilanjutkan ke Tolobali) dulu ada lapangan basket. Jadi, kloplah Ali mengawali pengabdiannya sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan praktik cabang olahraga ini.

Pak Madjid Amyn, Kepala SMP Muhammadiyah adalah seorang yang sangat berwibawa. Dia pendiam. Tidak banyak bicara. Jika memantau aktivitas mengajar para guru, dia hanya berjalan tanpa kata. Tetapi tetap memantau melalui tatapan matanya yang tajam dan menyelidik. Begitu pun yang dilakukannya ketika Ali Ahmad mulai melakonkan dirinya sebagai Guru Olahraga pada tes pertama.

Melihat Pak Madjid Amyn yang secara tidak langsung memantau hari pertama dia bekerja sebagai seorang Guru Olahraga, Ali, mengimprovisasi aktivitas pembelajaran dengan kegiatan baris berbaris, pengalaman yang juga pernah diperolehnya dari M.Saud Yasin ketika menjadi seorang siswa PGAN tahun-tahun sebelumnya. Ali tamat PGAN tahun 1974.

Setelah menuntaskan tugas sebagai seorang Guru Olahraga, Ali beralih lagi sebagai seorang Guru Kesenian pada agenda ke-6 dan 7. Saat mulai menjalani aksinya sebagai Guru Kesenian, pandangan Ali melihat bayangan Pak Madjid Amyn yang “mengawasi”-nya sayup-sayup tembus melalui jendela. Terasa gemetar juga mengetahui ada yang mengawasi. Namun apa daya, demi tahu diri diberikan makan laksana burung nuri dan kakatua, profesi dadakan ini harus dijalani juga.
Akan halnya dengan Ahmad Abidin yang menyasar tugas sebagai Guru SD sudah melaksanakan tugasnya. Sementara Ahmad Husen belum lagi beraksi sebagai guru.

Sebagai seorang Guru Kesenian, Ali Ahmad menghafal mati sejumlah judul lagu Indonesia.
“Mi fa sol mi….,” sebut Ali Ahmad menirukan dirinya mempraktikkan mata pelajaran Kesenian kepada para anak didiknya sambil tertawa dan kemudian menyulut rokok kesayangannya.

Dia berlagak sebagai seorang dirigen. Mencontohkan empat per empat ketukan saat membawakan sebuah nomor lagu. Tiba-tiba saja muncul kemampuan Ali memerankan diri sebagai Guru Kesenian lantaran didesak kebutuhan di bawah tatapan mata sang kepala sekolah.

Usai melaksanakan tes praktik mengajar, Ali Ahmad melapor kepada Pak Madjid Amyn.
“Ok, baik. Besok mulai masuk,” titah Pak Madjid Amyn setelah mendengar sang guru baru ini.

“Alhamdulillah lolos tes,” kata Ali Ahmad saat diwawancarai di kediamannya di Mataram.

Ali mengakui, meskipun tidak hebat-hebat amat dalam mengajar, namun yang dia syukuri sisi mental yang patut “diacungi jempol”. Keberanian dibarengi dengan kenekatan. Usai teman-teman mengajar, tidak ada saling curhat tentang pengalaman masing-masing setelah beraksi sebagai guru pada hari-hari awal mengajar. Yang ada hanyalah saling meminjam pakaian olahraga.
Aktivitas warga pondokan pada malam hari selain belajar dan diskusi, juga mengisinya dengan latihan olahraga pencak silat.

Muhammadiyah terkenal dengan komunitas Pencak Silat Tapak Suci yang masih eksis hingga kini dan sudah memiliki anggota yang tak terbilang di seantero nusantara. Latihan anak pondokan ini dilaksanakan di aula Masjid Raya Kota Bima, yang memang tak jauh dari pondokan. Latihan ini berlangsung bertahun-tahun dan selalu berjalan pada malam hari.

“Setelah mengajar di SMP Muhammadiyah, terjadilah insiden peletakan kulit babi di salah satu masjid di Rabangodu, tepat di sebelah barat Lapangan PU pada tanggal 28 September 1979”.

Salah satu tulisan seseorang yang menamakan diri Alamsyah, yang saya unduh di media daring dan di-posting 22 Februari 2015 menyebutkan: Peletakan kulit binatang yang dipandang haram bagi umat Islam itu terjadi di Masjid Al Hikmah Kelurahan Rabangodu Kecamatan
Salah satu kenangan yang tak terlupakan Ali, saat Muma melaksanakan ceramah di beberapa daerah di Bima.

“Dialah yang selalu memegang dan membawakan jasnya. Kebanyakan para anggota pondokan berjalan kaki, terutama menjelang pemilihan umum 1977”.

Jika ke desa-desa, para penghuni pondokan yang seluruhnya mahasiswa selalu mengikuti perjalanan Muma. Itulah cara Muma mengader generasi muda sebagai pelanjut estafet kepemimpinan di lingkungan Muhammadiyah.
Tidak hanya ikut, tetapi kader-kader muda disuruh tampil. Selain menjadi imam pada saat salat berjamaah, juga sebagai penceramah dalam pengajian-pengajian yang dilaksanakan. Muma memang menyiapkan jadwal dan menyampaikan kepada para mahasiswa yang mendampinginya jika akan ditugaskan tampil.

Ali Ahmad bercerita, selama berinteraksi dan berkomunikasi dengan Muma ketika masih hidup hingga berpulang, tidak pernah berani menatap wajahnya. Ali selalu menunduk jika berbicara dengan almarhum. Dia merasa malu sendiri dengan tutur kata Muma yang halus. Suaranya terdengar lembut.

“Ke mana Om Ali. Dari mana Om Ali??,” kata Ali menirukan suara Muma yang nian lembutnya dilontarkan kepadanya setiap bertemu Muma.
Terkadang juga – mungkin sekadar iseng saja – Muma kadang bercanda menawarkan Ali merokok. Padahal, Muma tidak merokok. Bahkan bisa sakit kalau terpapar asap rokok.

“Om Ali, sudah merokok. Ada rokoknya, Om Ali,” begitu biasa Muma menyapa Ali, seperti ditirukan kembali saat wawancara.

Tidak hanya rokok, urusan makan pun diperhatikan Muma.

“Sudah makan, Om Ali,” kata Muma dengan suara terdengar begitu pelan suatu saat.

Dalam hal salat, jika ada yang tidak menunaikan kewajiban ibadah subuh, ada-ada saja kisah lucu penghuni pondokan. Ali sendiri sering terjebak lambat bangun subuh lantaran begadang hingga larut malam.

Sebagai aktivis sering berdiskusi dan melakukan kajian melewati separuh malam. Akibatnya, berpengaruh terhadap rutinitas bangun menunaikan salat subuh. Menyikapi situasi yang seperti ini, Ali mengaku, terpaksa sambil berbaring dia melantunkan azan.

Mengetahui ulah Ali tersebut, M.Darwis yang jadi kepala pondokan kerap bereaksi.

“Kenapa Om Darwis kok tidak ada suaranya tadi subuh?,” Muma yang muncul pada pagi hari bertanya.

Darwis pun memberitahu bahwa yang melantunkan azan subuh itu adalah Ali, meskipun terdengar lain dari biasanya. Begitulah Muma mengawasi aktivitas para penghuni pondokan. Dan, beliau tahu itu karena pada waktu Ali menggemakan azan selagi berbaring berada tidak jauh dari pondokan mereka.

Terakhir, Ali malu-malu pergi ke rumah Muma. Beliau tahu Ali malu-malu menemuinya karena perbuatannya sendiri. Itu beliau dengar, kata Ali, dari informasi orang lain.

Ditahan di Korem

Sekali waktu, seorang pemeriksa menyambangi Ali Ahmad sembari memperlihatkan sepotong kayu.
“Ini yang saya pakai pukul Ghany Masjkur,” katanya.

Mendengar kalimat ini, darah Ali Ahmad mendidih. Bagaimana pun dia tidak dapat menerima jika pemeriksa tersebut memperlakukan Muma dengan memanfaatkan sepotong kayu yang dia perlihatkan. Emosi Ali sudah mengalir penuh ke kepala.

“Tolong yang Pancasilais sedikit dong. Saya ini warga negara, lho. Tolong dihargai sebagai warga negara. Kalian hanya mendengung-dengungkan Pancasila tetapi kenyataannya seperti ini, tidak Pancasilais” jerit Ali Ahmad tanpa rasa takut sama sekali dan dengan penuh emosional.

Menghadapi Ali Ahmad yang tiba-tiba “ngamuk” tersebut, pemeriksa itu pun berteriak.

“Patekkai…Patekkai,” teriak pemeriksa itu memanggil Perwira Kasi I Korem 162 yang beberapa tahun kemudian menjabat Dandim 1608 Bima.

Pada tahun 2000, ketika terjadi rusuh di Mataram, dia menjabat Kadit Sospol NTB dengan pangkat Kolonel (inf.) dan bergelar Drs dan S.H.
“Pantas saja terjadi pemberontakan di mana-mana,” teriak Ali Ahmad lagi begitu tidak tahan mendengar bahwa kayu yang dipegang pemeriksa itu dipakai menganiaya orang yang dijadikan panutannya.

Pak Baharuddin Anwar yang mendengar dan menyaksikan aksi Ali Ahmad hanya terdiam.

“Banyak maaf, Abu Weo,” kata Ali kepada seniornya itu.

Tensi Ali Ahmad kemudian menurun dan memberitahu pemeriksa agar tidak bertindak yang di luar batas perikemanusiaan sebagaimana diamanatkan sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradab”. . DaE Jhony dan DaE Netty waktu itu masih ada di musala. Emosi Ali Ahmad sudah diubun-ubun, Tidak ada “orang gila” yang berani “mengamuk” di kantor tentara ketika itu, kecuali Ali Ahmad, mahasiswa Fakultas Tarbiyah yang kenyang dengan pemahaman ideologi ke-Muhammadiyah-an dan akidah Islam yang kental dari Muma ketika di Bima.
Usai “mengamuk”, Ali Ahmad kembali diperiksa.

“Apa pengajian itu?,” kejar pemeriksa.
“Pengajian itu, juz iqra,” jawab Ali.
“Apa iqra itu?,” usut pemeriksa lagi.
“Dengar saya dulu, apa itu iqra. Iqra bismirabbikallaji..dst… Apa artinya, apa artinya,” tegas Ali di depan pemeriksa yang lain lagi, bukan tentara asal Jawa yang biasa memeriksa sebelumnya.
“Disuruh baca. Apa yang dibaca itu, situasi dan kondisi di Indonesia, di negeri ini penuh dengan kezaliman. Untuk itu Presiden di negeri ini orang yang islami karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam,” papar Ali.
“Siapa..siapa itu?,” pemeriksa yang penasaran bertanya.
“Pak Try (Sutrisno),” balas Ali.
“Try Sutrisno mana?,” tanya pemeriksa berlagak bodoh.
“Jenderal Try Sutrisno,” jawab Ali yang membuat pemeriksa tersebut tidak bisa berkutik.

Setelah peristiwa “amukan” tersebut, pemeriksaan terhadap Ali Ahmad pun tuntas. Dia dikenakan wajib lapor, yang kalau dia tidak salah mulai ditahan hingga wajib lapor itu totalnya menghabiskan waktu sekitar 6 bulan. Termasuk juga yang se-nasib dengan Ali Ahmad adalah Fatahullah, Dosen Fakultas Hukum Unram.

Keterlibatan Fatahullah dalam kaitannya dengan kasus Muma ini menurut H.Sofwan, S.H., M.Hum, gara-gara menghadiri acara takziah dengan penceramah Anwar Muhammad, ipar Muma. Sofwan sekali waktu membaca sebuah majalah yang mewartakan penahanan Muma. Melihat lagi membaca berita tersebut, Fatahullah yang juga terkena wajib lapor ke Korem pun memberitahu Sofwan bahwa dia juga akan dipanggil oleh Korem untuk dimintai keterangan terkait kehadirannya pada acara ceramah Anwar Muhammad.

Dia tidak sendiri menghadiri acara takziah itu. Ada beberapa nama lain, seperti Junaidin, Ahmad Cepe, Rusman dari Sumbawa.

Ketika masih tinggal di Bima, cerita Ali Ahmad lagi, kalau pada saat subuh pascasalat, dia kerap mendampingi Muma berjalan kaki selain Ahmad Husain. Namun yang paling sering mendampingi Muma adalah Ali Ahmad.

Sambil menempuh jarak jalan pagi ini sampai ke Lawata, Muma terkadang bercerita mengenai pengalamannya di pemerintahan dan juga mengenai masalah politik.
Sebab pada malam itu, Ali bermalam di rumah di sebelah utara. Di rumah itu pulalah Ali melantunkan azan sembari tidur. Yang lain sedang terlelap. Muma pun datang mengecek.
“Eh.. sudah salat semua?,” tanya Muma.
“Sudah, “jawab mereka berbohong, tetapi Muma terus mencecar mereka dengan pertanyaan.
“Di mana ambil wudu?,” usut Muma.
Ketika ada yang menyebut padasa (padasan, tempayan yang diberi lubang pancuran, tempat air wudu) di masjid, Muma mencecar mereka dengan pertanyaan lanjutan.
“Mengapa karumpa (terompah) tidak basah kalau pergi berwudu di masjid,” kata Muma.
Mereka tidak punya alibi lagi.

Jadi PNS

Selepas wajib lapor di Korem, Ali Ahmad membidik pekerjaan sebagai pegawai negeri. Suatu hari, Patekkai dan FX Supono, yang pernah memeriksanya, bertandang ke kediaman Ali Ahmad.
“Ini sampeyan ini?,” tegur Supono.
“Sampeyan, apa?,” tangkis Ali bernada kelakar dan berpikir yang dihadapinya adalah perwira berpangkat mayor dan letnan saja.
Ali Ahmad boleh berbangga diri, karena pernah bertemu dengan petinggi TNI, sekelas Jenderal TNI M.Jusuf ketika menjabat Menhankam/Pangab.

“Kenapa Mas Pono?,” tanya Ali.
Yang ditanya pun bercerita macam-macam. Tamunya pun memberitahu Ali bahwa kasus dirinya sudah masuk Kotak Pos 5000, tempat masyarakat dapat melapor ke Pusat mengenai apa pun yang mereka alami dan ketahui tentang “kelakuan” aparat pemerintah di daerah-daerah. Setiap kasus selalu masuk Kotak Pos 5000.
“Sampeyan ini anti pegawai negeri dan haram pegawai negeri. Tidak pernah menghormat bendera,” tuding Supono.

“Kapan saya pegawai negeri, dipecat karena tidak loyal? Ada nggak saya jadi pegawai negeri. Kan tidak pernah. Kedua, kapan saya ikut tes. Berapa kali tes. Lihat ijazah sarjana, S-1 saya ini,” bantah Ali Ahmad.
“Sampeyan mau jadi PNS?,” tanya Supono.
“Ya, mau dong,” jawab Ali Ahmad.
“Kami ini kebetulan tim seleksi PNS di Kantor Gubernur. Betul-betul mau?,” Petakkai yang ketika itu menjabat Kadit Sospol NTB menginformasikan.
“Kalau memang Mas ini punya kewenangan betul, tempatkan saya di Pagutan, tempat istri saya bertugas,” kata Ali.

Sang tamu menawarkan Bima, Sumbawa, Dompu.
“Betul??!!,” Petekkai ingin memperoleh keyakinan Ali Ahmad.
“Betul..betul,” jawab Ali.
Tidak lama datang Surat Keputusan pengangkatan sebagai guru di SMA Negeri 4 Pagutan pada tahun 1990.
Ternyata aksi “ngamuk” membela Muma itu berbuah manis bagi Ali Ahmad.

Menjelang menerima SK pengangkatan dan memperoleh surat tugas melaksanakan kewajiban, pada suatu pagi, Ali Ahmad disambangi seorang karyawan Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB yang ketika itu dipimpin Djoa Pasihu, orang Kendari Sulawesi Tenggara. Ali Ahmad acuh tak acuh saja melayaninya ketika terdengar seseorang mengucapkan salam dari luar pagar rumahnya. Kebetulan pula sang tuan rumah sedang mengawasi orang yang sedang mengerjakan rumahnya yang sementara dibangun.
Singkat cerita, Ali pun menemui sang tamunya. Ternyata si tamu mengantar SK pengangkatan sebagai guru SMA dan harus segera mengajar. Pria itu ngotot tetap berusaha menyerahkan SK tersebut secara langsung dan memberitahu agar Ali Ahmad segera langsung mengajar keesokan harinya. Dia juga takut dimarahi atasannya jika amanat ini tidak disampaikan.

“Begini Pak Ali, saya bawa SK dan surat tugas. Besok harus bertugas ini,” kata karyawan itu yang kemudian diketahui bernama Chaeruddin orang Sumbawa.
“Aduh repot, nih,” kata Ali Ahmad.
Dia sudah maklum, kalau dia terima penyerahan SK itu, pasti dia minta imbalan jasa.
“Tidak bisa begitu,” kata Chaeruddin lagi.
“Aduh. Pak Chaeruddin. Saya juga kehabisan rokok nih..,” bual Ali Ahmad.
“Nanti saya belikan rokok. Apa rokoknya,” segera Chaeruddin menyahuti dan Ali sendiri tidak menyangka dia akan sepolos itu membantu.
“Ya, Gudang Garam 16,” katas Ali Ahmad, yang tidak lama kemudian Chaeruddin pun lenyap dan muncul lagi dengan dua bungkus rokok sesuai yang dipesan. Taktik ini dilakukan Ali guna menutupi peluang terjadi sebaliknya, Ali yang dipalak.
Ali Ahmad kemudian meminta Chaeruddin membawa pulang SK tersebut. Kebetulan juga hari itu, Ahad. Tetapi dia bersikeras akan datang lagi keesokan harinya. Tapi Ali, menyampaikan tidak usah datang.
“Tidak usah datang terus-terusan,” ujar Ali.
“Nanti saya dimarahi,”kata Chaeruddin.
Ali kemudian memberitahu bahwa kapan-kapan saja dia akan masuk bekerja sebagai Guru SMA Negeri 4 Pagutan. Tetapi Chaeruddin tetap bergeming. Dia bahkan bersedia mendampingi Ali pada hari Senin pergi ke sekolah itu.

“Pukul 07.00 saya sudah di sini, Pak Ali,” Chaeruddin terus nrocos.
Keesokan hari Senin, seperti dia janjikan, Chaeruddin muncul di kediaman Ali Ahmad, sementara tuan rumah belum mandi.
Pertama mengajar, hingga sembilan tahun Ali menjabat Kepala Sekolah. Lalu menjabat Kepala SMA Negeri Labu Api.

Tahun 1998 muncul reformasi. Ali Ahmad mulai berpikir banting stir. Guna membulatkan niatnya, dia bertemu Baharuddin Anwar yang tentu saja dapat dijadikan sebagai tempat bertanya dan berdiskusi karena memiliki segudang pengalaman di bidang pemerintahan. Diusulkan membidik partainya Sri Bintang Pamungkas. Dia juga bertemu dengan Muchtar Pakpahan yang ketika itu menjabat Ketua Serikat Buruh Indonesia (SBI)
Melihat Muchtar Pakpahan selalu tampil mengenakan kopiah hitam, Ali Ahmad mengira dia seorang muslim. Mengetahui yang didatangi tak se-umat dengan dirinya, Ali Ahmad pun balik kanan pergi.

Pernah juga sekali waktu ada pertemuan di Kantor Golkar di Mataram. Ada sejumlah dosen Unram, termasuk Dekan Fakultas Pertanian Sudarmadji, ikut hadir. Waktu itu, Ali Ahmad baru saja lepas dari wajib lapor di Korem. Dalam pertemuan itu, Ali Ahmad dan Rahman Mei duduk di kursi paling belakang. Komandan Korem waktu itu Kolonel Inf Soekotjo HS yang menjabat antara 1997 s.d. 2000.

Saat sesi tanya jawab, Komandan Korem memberi kesempatan audiens menunjuk jari. Dari jauh, di bagian belakang, Soekotjo melihat gerakan tangan Ali.
“Itu yang di belakang sana!,” sebut Komandan Korem.
Ali Ahmad bangun dari tempat duduknya. Berjalan bagaikan “ular mabuk” ke depan.
“Assalam alaikum ww., Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara sekalian. Saya tidak tahu itu bilang bang..bang..bung..bung.. itu. Jadi, bapak tentara yang terhormat,” seru Ali Ahmad dengan lantang.
Ali Ahmad membatin, mungkin juga ada di antara yang hadir bergumam.
“Apa pula ini ada orang gila yang tampil ini”.

Begitu mendengar kata-kata Ali Ahmad, audiens tergelak tawa sambil duduk terpaku di kursinya masing-masing. Mereka bersemangat karena tidak pernah membayangkan akan ada orang yang membongkar isi hatinya selama ini yang terpendam itu. Ali membongkar habis tentang “eka” (ekstrem kanan) – Islam fundamentalis — dan”eki” (ekstrem kiri) – komunis — yang viral dituduhkan kepada mereka yang terlibat dalam berbagai kasus yang oleh pemerintah segera dicap sebagai subversif.

Ali Ahmad dengan lantang mengkritik, bagaimana begitu banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur, sementara di desa-desa mereka rata-rata dipimpin oleh pensiunan serdadu dengan pendidikan yang tidak memadai. Mereka hanyalah pensiunan kopral. Ali Ahmad mengobrak-abrik kepincangan dan ketimpangan perilaku berpemerintahan dan berpolitik di Bima.

Mendengar keberanian Ali Ahmad, yang terakhir menjabat Wakil Ketua DPW PAN NTB berorasi di depan Danrem tersebut, mungkin juga ada audiens yang rata-rata orang berpendidikan, merasa baru menemukan sosok yang berani bersuara lantang mengenai berbagai kepincangan yang terjadi di masyarakat.

Ali sih cuek saja, Dia sudah “tamat” di tahanan selama enam bulan dengan beragam intimidasi dan ancaman atau teror yang dilakukan aparat. Seolah-olah intimidasi dan teror mental itu menggembleng dirinya selalu percaya diri berada di beragam situasi dan kondisi. Dia juga yakin, intimidasi dan ancaman yang pernah dialaminya sudah berlalu seiring dengan datangnya badai reformasi yang mengakhiri pemerintahan 32 tahun Soeharto yang otoriter.
Kini, lelaki itu telah pergi dalam sepi sendiri, setelah sempat diterpa musibah yang tak enak di hati. Selamat jalan sahabat.

Sumber : (M.Dahlan Abubakar, Makassar).

214 Pembaca
error: Content is protected !!